TEKNIK EKSTRAKSI
DAN APLIKASI BEBERAPA PESTISIDA NABATI UNTUK MENURUNKAN PALATABILITAS
ULAT
GRAYAK
Oleh :
ANANG BUDI PRASETYO,SP
BPP KECAMATAN GADING
Kedelai
(Glycine max L.) merupakan komoditas tanam an pangan yang memiliki arti penting bagi sebagianbesar
masyarakat Indonesia.
Kedelai merupakan salah satu bahan pangan sumber protein nabati. Kedelai
biasanya diolah menjadi berbagai produk makanan seperti tempe, tahu, tauco, kecap, dan susu.
Kebutuhan bahan baku industri pengolahan
kedelai seperti tempe,
tahu maupun kecap, sebagian besar masih dipenuhi dari impor. Impor kedelai pada
tahun 2005 mencapai 1,3 juta ton (Sudaryanto dan Swastika 2007). Selain dalam
bentuk biji kedelai, impor bungkil kedelai juga masih tinggi untuk memenuhi
kebutuhan industri makanan ternak (Kasryno et al. 1985). Untuk itu,
produktivitas kedelai di dalam negeri perlu ditingkatkan guna memenuhi
kebutuhan konsumsi masyarakat maupun industri makanan ternak.
Budi daya kedelai menghadapi beberapa kendala sehingga produktivitas
tanaman rendah. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya hasil kedelai di Indonesia ialah serangan hama (Sumarno dan Harnoto 1983). Hama penting pada kedelai
antara lain adalah ulat grayak (Spodoptera litura F.).
Dalam mengendalikan ulat grayak, umumnya petani menggunakan insektisida
sintetis karena lebih efektif, cepat diketahui hasilnya, dan penerapannya
relatif mudah. Namun, penggunaan insektisida sintetis dapat menimbulkan
pengaruh samping yang merugikan, seperti timbulnya resistensi pada hama sasaran, resurjensi hama
utama, eksplosi hama sekunder, dan terjadinya
pencemaran lingkungan (Oka 1995). Karena itu,
perlu dikembangkan metode pengendalian yang lebih efektif dan ramah lingkungan.
Penggunaan insektisida nabati merupakan alternatif untuk mengendalikan
serangga hama.
Insektisida nabati relatif mudah didapat, aman terhadap hewan bukan sasaran,
dan mudah terurai di alam sehingga tidak menimbulkan pengaruh samping (Kardinan
2002). Maryani (1995) mengemukakan bahwa
biji sirsak mengandung bioaktif asetogenin yang bersifat insektisidal dan penghambat makan (anti-feedant).
Buah mentah, biji, daun, dan akar sirsak mengandung senyawa kimia annonain yang
dapat berperan sebagai insektisida, larvasida, penolak serangga (repellent),
dan anti-feedant dengan cara kerja sebagai racun kontak dan racun perut
(Kardinan 2002). Kardono et al. (2003) mengemukakan bahwa ekstrak daun
babadotan mengandung insektisida yang efektif untuk membunuh Sytophilus
zeamays dengan LD50
sebesar 0,09% dalam 24 jam. Biji saga yang diekstrak dengan air atau aseton
dapat bersifat sebagai racun perut bagi serangga, sedangkan tepung bijinya yang
diaplikasikan pada tepung terigu dengan konsentrasi 5% mampu mengendalikan hama
gudang Sitophilus sp. selama tiga bulan (Iskandar dan Kardinan 1995).Kardinan dan Iskandar (1997)
mengemukakan bahwa larutan daun sembung dalam air dengan konsentrasi 1% yang
ditambah 0,10% detergen cair (teepol) menyebabkan kematian populasi keong mas (Pomacea
canaliculata) lebih dari 50%. Ekstrak daun melinjo (Gnetum gnemon)
dapat mempengaruhi perilaku makan ulat grayak (Heviandri 1989).
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui teknik ekstraksi dan aplikasi
beberapa jenis pestisida nabati untuk menurunkan palatabilitas ulat grayak di
laboratorium.Percobaan dilaksanakan pada bulan Februari-April 2006 di
laboratorium biopestisida, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi
dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen), Bogor. Bahan-bahan yang digunakan
antara lain adalah tanaman kedelai varietas Burangrang yang berumur 28-35 hari
setelah tanam (HST), ulat grayak instar 3 yang diperoleh dari hasil pembiakan
di laboratorium, biji dan daun sirsak, daun dan bunga babadotan, biji saga,
daun sembung, daun melinjo, pupuk NPK (urea, TSP, dan KCl), akuades, dan
metanol. Alat yang digunakan meliputi gelas piala, gelas ukur, pot plastik,
kotak plastik, homogenizer (blender),
sentrifus, freezer dryer, dan pipet. Sebagai ilustrasi dapat
dilihat perkembangan ulat grayak (Gambar 1) dan beberapa jenis tanaman yang
berpotensi sebagai bahan pestisida nabati (Gambar 2).
Gambar 2. Beberapa jenis tanaman yang berpotensi
sebagai bahan pestisida nabati, laboratorium BB Biogen, Bogor, 2006
Percobaan dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL)
faktorial dengan dua faktor. Faktor A adalah jenis pelarut yang terdiri atas
dua faktor, yaitu pelarut air dan metanol, dan faktor B adalah jenis ekstrak
nabati yang terdiri atas delapan faktor, yaitu: (1) ekstrak biji sirsak (BSr),
(2) ekstrak daun sirsak (DSr), (3) ekstrak daun babadotan (DBd), (4) ekstrak
bunga babadotan (BBd), (5) ekstrak biji saga (BSg), (6) ekstrak daun sembung (DSb), (7) ekstrak
daun melinjo (DMl), dan (8) kontrol (K). Percobaan diulang tiga kali.
Pembuatan ekstrak bahan nabati dengan pelarut metanol dan air serta
aplikasinya dilakukan dengan cara sebagai berikut:
•
Pembuatan ekstrak bahan nabati dengan pelarut metanol. Bahan nabati segar
sebanyak 25 g dicincang kemudian diekstrak dengan pelarut metanol p.a sebanyak
100 ml selama 15 menit. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan blender. Hasil
ekstraksi disentrifusi selama 20 menit dengan kecepatan 3.000 rpm, kemudian
diuapkan menggunakan freezer dryer hingga volume ± 1 ml. Larutan
tersebut kemudian diencerkan menggunakan akuades menjadi konsentrasi 5% dan
selanjutnya larutan siap digunakan untuk perlakuan.
• Pembuatan ekstrak bahan nabati dengan pelarut air. Bahan nabati segar
sebanyak 100 g dicincang kemudian diekstrak dengan pelarut air dengan perbandingan 1:3. Ekstraksi
dilakukan dengan menggunakan homogenizer/ blender selama 15 menit. Hasil ekstraksi dibiarkan selama 24 jam
kemudian disaring menggunakan kain halus dan selanjutnya larutan siap digunakan
sebagai perlakuan
•
Aplikasi ekstrak bahan nabati. Daun tanaman kedelai yang berumur 28-35 HST
sebanyak dua pucuk dicelup ke dalam ekstrak bahan nabati sesuai perlakuan
selama 30 detik. Setelah itu, daun
dikeringanginkan dan ditimbang, kemudian dimasukkan ke dalam kotak
plastik berukuran 14 cm x 14 cm x 5 cm. Selanjutnya daun diinfestasi dengan
larva ulat grayak instar 3 sebanyak 10 ekor, lalu kotak plastik ditutup dan
diberi ventilasi dengan kain kasa. Keesokan harinya daun tersebut ditimbang,
kemudian diganti dengan daun baru yang sudah ditimbang, begitu seterusnya sampai
7 hari setelah aplikasi (HSA). Masingmasing perlakuan diulang tiga kali.
Parameter yang diamati adalah tingkat palatabilitas ulat grayak yang
diamati berdasarkan tingkat penurunan persentase aktivitas makan, bobot pakan
(daun kedelai) yang habis dimakan serangga uji pada periode 1-7 HSA.
Persentase penurunan aktivitas makan dihitung dengan rumus sebagai
berikut (Prijono 1988):
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
pengamatan pengaruh aplikasi bahan nabati terhadap palatabilitas ulat grayak
disajikan pada Tabel 1. Pada pengamatan hari pertama setelah aplikasi (1 HSA),
palatabilitas larva ulat grayak dari semua perlakuan tidak berbeda nyata dengan
kontrol. Larva ulat grayak yang palatabilitasnya terendah terdapat pada
perlakuan BSr-M. Hal ini menunjukkan
bahwa aplikasi bahan nabati belum berpengaruh terhadap palatabilitas ulat
grayak
Pada pengamatan 2 HSA, semua perlakuan menunjukkan penurunan
palatabilitas ulat grayak, dengan palatabilitas terendah pada perlakuan DSr-M.
Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi ekstrak bahan nabati selain berpengaruh
terhadap mortalitas juga mempengaruhi palatabilitas larva ulat grayak. Pada 3
HSA, palatabilitas larva ulat grayak pada hampir semua perlakuan tidak berbeda
nyata dengan kontrol, palatabilitas terendah pada perlakuan DBd-M. Hal ini
menunjukkan bahwa ekstrak biji sirsak, bunga babadotan, dan daun babadotan
dapat menghambat palatabilitas larva ulat grayak atau bersifat anti-feedant
(Tabel 1).
Pengamatan pada 4-7 HSA, palatabilitas ulat grayak pada perlakuan bahan
nabati yang diekstrak menggunakan pelarut metanol lebih rendah dibandingkan
dengan yang diekstrak menggunakan air. Hal ini menunjukkan bahwa pelarut
metanol lebih baik dalam menarik senyawa kimia yang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar