INTEGRASI PENGENDALIAN GULMA DAN
TEKNOLOGI TANPA OLAH TANAH PADA USAHA TANI PADI SAWAH MENGHADAPI PERUBAHAN
IKLIM
Oleh :
ANANG BUDI PRASETYO,SP
BPP KECAMATAN GADING
I. PENDAHULUAN
Gulma
merupakan salah satu kelompok organisme pengganggu tanaman (OPT) yang menjadi
pesaing bagi tanaman padi dalam memperoleh hara, air, sinar matahari, CO2 , dan
lahan (Lamid 1996). Tanpa pengendalian, gulma mampu menurunkan hasil padi sawah 32-42%, bergantung pada varietas padi
yang ditanam dan agroekosistem (Bangun dan Syam 1989).
Teknologi
pengolahan tanah mempunyai tujuan ganda, baik dalam penyiapan lahan dan
pengelolaan air maupun pengendalian gulma. Pada era prarevolusi hijau, penyiapan
lahan untuk budi daya padi sawah hanya diawali dengan pengolahan tanah
sederhana, bahkan kadang kala tanpa olah tanah, hanya dengan menebas gulma dan
kemudian membakarnya (Lamid 1993).
Pada
era revolusi hijau yang diiringi oleh kemajuan peradaban zaman dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), pengolahan tanah secara sederhana ditinggalkan petani dan
diganti dengan olah tanah sempurna (OTS) menggunakan alat dan mesin pertanian
(alsintan). OTS menjadi salah satu komponen teknologi anjuran dalam program
intensifikasi padi sawah (Bimas, Inmas, Insus, dan Supra Insus) yang
mengantarkan Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984 (Fagi 1996).
Penerapan
teknologi OTS awalnya berdampak positif terhadap efisiensi usaha tani padi
karena menghemat biaya dan tenaga kerja untuk pengendalian gulma, memfasilitasi
penerapan komponen teknologi lain, dan meningkatkan produktivitas (Kasryno
1983; Ananto 1989). Namun, di balik keberhasilan itu, revolusi hijau
meninggalkan beberapa masalah, antara lain tanah menjadi sakit (soil sickness)
(Utomo 1995). Pelumpuran tanah secara terus-menerus yang diikuti oleh pemupukan
anorganik pada takaran tinggi diduga menjadi salah satu penyebab perubahan
fisiko kimia tanah pada zona perakaran tanaman, yang berdampak terhadap
penurunan produktivitas padi sawah.
Perubahan
iklim berdampak pula terhadap perubahan fisik tanah dan penurunan produktivitas
tanaman yang pada gilirannya akan menurunkan produksi (Las et al. 2008; Badan
Litbang Pertanian 2010).
Padi
sawah termasuk jenis tanaman pangan yang rentan terhadap perubahan iklim dan
penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca (GRK) di bidang pertanian (Las et al. 2008).
Tanpa olah tanah (TOT) merupakan salah satu teknologi yang prospektif
dikembangkan untuk mengatasi beberapa kelemahan OTS dan menurunkan GRK dalam
pascarevolusi hijau (Badan Litbang Pertanian 2010).
TOT
dikenal sebagai teknologi olah tanah konservasi (OTK) (conservation tillage)
dan makin populer di negara-negara maju, terutama Amerika Serikat, karena
memiliki beberapa keuntungan, antara lain mencegah erosi, mempertahankan
keanekaragaman biologi, menekan populasi beberapa jenis gulma dan hama invertebrata,
memperbaiki efisiensi penggunaan pupuk, dan meningkatkan intensitas tanam dan
pendapatan (Sinukaban 1981; Allen 1985; Hasny et al. 1989; Effendi dan Utomo
1993; Lamid dan Hermawan 1996; Lamid
1998). Selain itu, teknologi ini membuka peluang bagi penggunaan herbisida
nonselektif purnatumbuh yang bekerja secara sistemik atau secara kontak (Bangun
1995; Utomo 1995).
Makalah
ini bertujuan untuk mengangkat kembali teknologi tradisional yang sudah
diperbaiki sebagai inovasi teknologi alternatif pada sosio-agroekosistem
spesifik untuk meningkatkan produksi padi guna mewujudkan swasembada beras
berkelanjutan.
II.
DINAMIKA POPULASI DAN PENGENDALIAN
GULMA
Gulma
merupakan salah satu OPT yang mampu beradaptasi, tumbuh, dan berkembang pada
semua agroekosistem dan dalam kondisi iklim yang telah berubah. Pada lahan budi
daya padi sawah, dinamika populasi gulma akan menentukan tindakan pengendalian
yang tepat.
2.1.
Dinamika Populasi
Populasi
gulma padi sawah dikelompokkan ke dalam tiga golongan, yakni gulma berdaun
sempit (semua jenis dari family Gramineae), gulma berdaun lebar (jenis gulma
berdaun lebar, batang berkayu, dan tulang daun menyirip), dan teki (semua jenis
dari famili Cyperaceae dan atau gulma bertulang daun sejajar) (Mercado 1979;
Lamid 1996). Pertumbuhan populasi gulma pada lahan sawah ditentukan oleh
ketersediaan air sebagai syarat utama dalam proses pelumpuran pada penyiapan
lahan OTS. Di sisi lain, ketinggian air pada permukaan lahan berfungsi
mengendalikan beberapa jenis gulma (Mercado 1979).
Pada lahan
sawah irigasi (air selalu tergenang), gulma berdaun lebar lebih mendominasi
populasi seperti Monochoria vaginais (Burm. f.) Presl, Sphenoclea zeylanica
Gaertn., Limnocharis flava (L.) Buch, dan Marsilea crenata Presl. Kemudian
secara berurut diikuti oleh teki (Cyperus iria L., C. difformis L., Scirpus juncoides
Roxb. dan Fimbristylis sp.), serta gulma berdaun sempit (Paspalum distichum L.,
Echinochloa crussgalli (L.) Beauv., Leersia hexandra L., Leptochloa chinensis
L. Nees, dan E. colona L (Bangun dan
Syam 1989).
Pada
lahan sawah tadah hujan, dinamika populasi gulma menyesuaikan diri dengan
kondisi kering dan basah (Bangun dan Syam 1989). Dalam keadaan basah, lahan
sawah didominasi oleh gulma berdaun lebar (Commelina baghaliensia L. dan Jusseae linifolia vahl.), dan pada keadaan
kering didominasi oleh gulma berdaun sempit (Ischaemum timorense Kenth., E.
colona dan Paspalum distichum L) dan golongan teki (C. difformis, C. iria dan C. halpan
L). Pada lahan sawah pasang surut, gulma yang dominan adalah golongan
teki (C. iria, F. littoralis dan Eleocharis sp.), diikuti oleh gulma berdaun
sempit (Brachiaria paspaloides C.E. Hebb., P. distichum dan L. hexandra), sedangkan
gulma berdaun lebar jarang ditemui (Lamid dan Anhar 1979; Lamid et al. 1995,
1999b).
Pada
dinamika populasi gulma, glongan gulma yang dominan merupakan target utama
untuk dikendalikan karena berpotensi sebagai pesaing tanaman budidaya. Perlu
diwaspadai bahwa gulma minor akan muncul sebagai pesaing pengganti pada musim
tanam berikutnya, oleh karena itu, keberagaman tersebut menghendaki pendekatan
pengendalian yang spesifik (Lamid 1996).
2.2.
Pengendalian
Pengendalian
gulma bukan diarahkan untuk pemberantasan total, tetapi mempertahankan populasi
gulma di bawah ambang ekonomi. Secara umum, pengendalian gulma pada padi sawah
dikelompokkan ke dalam dua metode, yakni nonkimia dan kimia atau aplikasi
herbisida (Bangun dan Syam 1989). Metode pengendalian nonkimia meliputi cara
manual, mekanis, biologi, ekologi, dan teknik budidaya (Mercado 1979). Namun,
cara pengendalian yang umum dan populer di petani Indonesia saat ini adalah
cara manual, yakni penyiangan dengan tangan karena lebih mudah dan murah,
terutama pada lahan sawah yang relatif sempit (Lamid 1996). Selanjutnya,
berkembang pengendalian cara mekanis menggunakan alat sederhana, seperti pisau,
parang, sabit, landak atau alat penyiang berputar (rotary weeder) yang harus
didukung oleh barisan tanaman padi sawah
yang relatif lebih teratur atau lurus.
Pengaturan
jarak tanam, pemilihan varietas, dan pola tanam (padi−padi− palawija) mampu
mengubah populasi gulma atau menekan pertumbuhan jenis gulma tertentu dari yang
kuat bersaing menjadi lemah bersaing (Mercado 1979). Pengaturan tata air dengan
tinggi genangan sekitar 5 cm juga mampu menekan munculnya jenis-jenis gulma
tertentu, namun sulit dilakukan karena terbatasnya air irigasi, kecuali pada
musim hujan.
Bila
cara tersebut kurang efektif menekan pertumbuhan gulma, alternative terakhir
adalah pengendalian dengan menggunakan herbisida selektif pra dan purnatumbuh
padi sawah dan atau gulma sasaran, baik pada budi daya tanam pindah maupun
tanam benih langsung (tabela). Aplikasi herbisida termasuk cara pengendalian
gulma yang efektif, mudah, dan murah dibandingkan dengan cara manual (Bangun
dan Syam 1989). Namun, penggunaan herbisida sejenis pada setiap musim tanam
dapat menimbulkan resistensi jenis gulma tertentu sehingga menghendaki alterasi
aplikasi bahan aktif yang berbeda (Lamid et al. 2001) .
Masing-masing
komponen teknologi pengendalian gulma mempunyai kemangkusan tersendiri, sesuai
gulma sasaran, namun belum satu pun herbisida yang dapat bekerja secara
holistik. Untuk itu, penggabungan cara pengendalian gulma yang mampu bersinergi
antara yang satu dengan lainnya, baik fisik (jenis gulma dan tanaman budi daya)
maupun ekonomi dan sosial, yang disebut pengendalian gulma secara terpadu (PGT)
perlu diwujudkan (Lamid 1996). Namun, PGT baru sebatas wacana karena belum
adanya perhatian pengambil kebijakan pertanian terhadap pengendalian gulma.
II.
PERSPEKTIF TEKNOLOGI TANPA OLAH TANAH
Pengolahan
tanah merupakan bagian dari budi daya yang berpengaruh langsung terhadap fase
pertumbuhan tanaman (vegetatif dan reproduktif), yang pada gilirannya
memengaruhi hasil dan pendapatan petani. Selain untuk menghemat tenaga dan air,
beberapa kelemahan atau dampak negative teknologi OTS mendorong kembali
penerapan teknologi TOT spesifik lokasi.
3.1.
Olah Tanah Sempurna dalam Sistem Produksi Padi Sawah
OTS
telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap program intensifikasi
padi sawah. Swasembada beras yang diraih pada tahun 1984 tentu tidak dapat
dilepaskan dari penerapan teknologi OTS yang merupakan tulang punggung
pengadaan produksi padi nasional. Namun, keberhasilan program intensifikasi
juga menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem lahan sawah, seperti
degradasi kesuburan tanah, meningkatnya polusi perairan oleh limbah pertanian
(residu pestisida, nitrat dari pupuk nitrogen dan sedimentasi), serta timbulnya
biotipe baru hama dan prototipe baru penyakit (Hammond dan Stinner 1999).
Proses
OTS pada lahan sawah yang meliputi penggenangan sawah sampai jenuh bahkan
kelebihan air agar tanah menjadi lunak, diikuti oleh pembajakan dua kali dan
penggaruan untuk pelumpuran lahan, memerlukan waktu relatif lama sebelum padi
ditanam. Tujuan utama OTS adalah mengendalikan gulma pada stadia awal
pertumbuhan tanaman, memperbaiki aerasi tanah, mencampur sisa gulma dan tanaman
dengan tanah, membantu pembentukan tapak bajak, menyeragamkan tingkat kesuburan
tanah, meningkatkan ketersediaan hara, terutama fosfor (P), dan memudahkan
tanam (Taslim et al. 1989).
Pada
budi daya padi sawah, masing-masing 30% dari total kebutuhan air, total tenaga
kerja, dan total waktu dihabiskan untuk penyiapan lahan sehingga indeks pertanaman
maksimum hanya 200-250/ tahun ( Ananto dan Fagi 1993). Pembajakan atau
pelumpuran tanah dengan pengaliran air ke dalam dan ke luar petakan sawah menyebabkan hanyutnya sedimen tanah, bahan
organik, dan hara tertentu ke saluran air irigasi. Pada lahan sulfat masam, unsur
besi (Fe) dan sulfur (S) terlarut secara berlebihan ke lapisan perakaran
(oksidasi) sehingga meracuni akar tanaman padi dan meningkatkan populasi gulma
(Mercado 1979; Widjaja-Adhi 1990; Ananto dan Fagi 1993) .
Penerapan
OTS dengan menggunakan tenaga ternak dan cangkul memberikan pertumbuhan tanaman
dan hasil yang lebih baik, tetapi indeks pertanaman lebih rendah dibandingkan
dengan menggunakan mesin pengolah tanah (hand tractor) karena memerlukan waktu
yang lebih panjang (De Datta 1981). Dengan menggunakan bajak traktor, proses
tanam dapat dipercepat sehingga indeks pertanaman meningkat. Namun, hasil padi
lebih rendah karena adanya senyawa beracun (fumarat) yang dihasilkan oleh
proses pelapukan bahan organik (gulma dan singgang). Senyawa ini mengganggu
pertumbuhan vegetatif dan reproduktif tanaman.
3.2.
Tanpa Olah Tanah dan Populasi Gulma
Kesuksesan
aplikasi teknologi TOT padi sawah umumnya dibatasi oleh investasi gulma. Namun,
gulma termasuk singgang padi sebelumnya (ratoon) dapat dikendalikan dengan
aplikasi herbisida purna tumbuh. Khusus untuk gulma, beberapa laporan
menyatakan bahwa aplikasi herbisida glifosat dengan takaran anjuran efektif
menekan pertumbuhan populasi gulma sebesar 70% sampai tanaman padi berumur 45
hari setelah tanam (HST) (Lamid et al. 2000; Lamid dan Wentrisno 2001). Hal
ini mengindikasikan bahwa gulma pada padi sawah TOT cukup dikendalikan satu
kali selama pertumbuhan.
Aplikasi
herbisida secara terus-menerus pada budidaya TOT memerlukan dukungan informasi
tentang perkembangan populasi gulma setelah aplikasi. Hasil pengujian jangka
panjang menunjukkan bahwa penerapan teknologi TOT dengan aplikasi herbisida
glifosat secara terus-menerus setiap musim tanam (MT) menggeser populasi gulma dari target
awal golongan teki (F. littoralis) ke golongan berdaun sempit (relatif murni
Paspalum vaginatum L), mulai dari MT 3 sampai MT 17 (Lamid et al. 1999a, 2001).
Pergeseran
populasi gulma tersebut diduga sebagai penyebab munculnya resistensi melalui
terdegradasinya bahan aktif herbisida oleh enzim spesifik pada buku ruas stolon
(Mercado 1979). Hal ini dibuktikan oleh model aksi herbisida di mana pada
awalnya seluruh daun mengalami keracunan berat sampai tanaman mati (kering).
Namun, dari masing-masing buku pada ruas stolon muncul akar dan tunas yang
berkembang lebih cepat dan subur bila menyentuh tanah.
3.3.
Tanpa Olah Tanah dan Perubahan Iklim
Tanaman
pangan sangat rentan terhadap perubahan iklim, terutama akibat kelebihan dan
kekurangan air. Secara teknis, kerentanan tersebut berhubungan erat dengan sistem
penggunaan lahan dan sifat tanah, pola tanam, teknologi pengolahan tanah, air,
tanaman, dan varietas (Las et al. 2008). Ada tiga faktor utama yang terkait
dengan perubahan iklim global yang berdampak terhadap sektor pertanian, yaitu:
(1) perubahan pola curah hujan dan iklim ekstrim; (2) peningkatan suhu udara;
dan (3) peningkatan permukaan air laut (Badan Litbang Pertanian 2010).
Pemanasan
global yang terjadi akhir-akhir ini telah menyebabkan perubahan iklim yang
merupakan dampak dari akumulasi GRK ( Gas Rumah Kaca ) di atmosfer, seperti CO2
, N2O, dan gas metana yang diemisi oleh berbagai sumber akibat
aktivitas manusia (Badan Litbang Pertanian 2010). Di lingkup pertanian, selain
lahan gambut, emisi metana dari lahan sawah juga merupakan penyumbang terbesar
GRK, sekitar 70% dari kontribusi sektor pertanian di luar perubahan dan
degradasi lahan. Pemupukan dan sistem irigasi secara terus menerus dalam
penerapan OTS juga ditengarai turut berperan dalam meningkatkan emisi metana
dari lahan sawah. Dampak utama dari perubahan iklim di samping penggundulan
hutan adalah tidak menentu dan tingginya dinamika debit air irigasi (De Datta
1981; Las et al. 2008). Kendala ini secara langsung akan menurunkan
produktivitas lahan dan tanaman padi sawah.
Selain
untuk tujuan efisiensi air dan memperpendek masa olah tanah, berbagai inovasi
teknologi juga diperlukan untuk upaya mitigasi dengan menurunkan laju emisi
metana dari lahan sawah. Salah satu di antaranya adalah reorientasi teknik
pengolahan tanah, yang diarahkan kepada penerapan teknologi TOT (Lamid dan
Wentrisno 2001). Dengan penerapan TOT, baik dengan irigasi berselang maupun
macak-macak (saturation), lahan sawah mampu menekan emisi gas metana 71%
dibanding OTS (Setyanto 2008).
3.3.
Tanpa Olah Tanah dan Konservasi Sumber Daya
Teknologi
TOT sudah lama diterapkan petani di Indonesia, terutama di Kabupaten Pasaman
Timur, Sumatera Barat. Mereka menyebutnya sebagai teknik TGT (tebas, gulung,
dan tanam). Gulma dan sisa tanaman sebelumnya ditebas, kemudian digulung untuk
dijadikan pematang sawah guna menahan air dan tanam. Cara ini masih
dipraktekkan dan berkembang menjadi teknik budi daya TOT
dengan menggunakan herbisida untuk mengendalikan gulma dan singgang padi dari tanaman
sebelumnya (Argus Agronomics 1994; Hebblethwait 1996). TOT banyak menghemat
tenaga kerja, waktu, dan biaya sehingga sisa waktu yang masih tersedia dapat
digunakan untuk kegiatan produktif lainnya (off-farm dan on-farm) guna menambah pendapatan keluarga.
Teknologi ini juga telah diterapkan oleh petani di lahan pasang surut tipologi
B, C, dan D karena lebih menghemat tenaga kerja, mempercepat tanam, dan tidak
memerlukan banyak biaya untuk menyiapkan lahan (Hosen et al. 1998; Lamid et al.
2000 ).
Penerapan
teknologi TOT di lapangan bergantung pada penggunaan herbisida agar permukaan
tanah terhindar dari erosi permukaan atau pelindian hara dan bahan organik
(Hebblethwait 1996). Herbisida untuk mengendalikan gulma dan singgang padi
diharapkan relatif lebih murah dan mudah, secara biologi tidak aktif dalam tanah
(non-biological activity), dan ramah lingkungan (Hosen et al. 1998; Lamid 2001). Namun, muncul
keraguan akan meningkatnya kepadatan tanah dan resistensi gulma terhadap bahan
aktif herbisida sejenis bila diaplikasikan secara terus-menerus pada setiap
musim tanam (Hakim et al. 1986; Monagro Kimia 1995; Lamid 1997).
Untuk
menghindari kepadatan tanah, penerapan TOT pada lahan sawah jenis tanah liat
berpasir atau liat berdebu hanya hingga empat musim tanam, lebih dari itu sulit
dilakukan penanaman. Karena itu, pada MT 5 diperlukan satu kali OTS dan selanjutnya
dapat diterapkan kembali TOT (Abdurrahman et al. 1994). Pada tanah Andosol,
teknologi TOT dapat diterapkan pada setiap musim tanam. Namun, pada tanah Aluvial
hingga 17 musim tanam berturut-turut belum layak diselingi dengan OTS karena
kepadatan tanah berada pada angka 1,41 g/cm3 (Lamid 1998). Kalau kepadatan
tanah belum mencapai 1,75 g/ cm3 , penerapan TOT masih layak diterapkan
(Blevin 1984). Selanjutnya, aplikasi herbisida berbahan aktif berbeda dapat mengurangi munculnya
resistensi gulma.
Pelaksanaan
TOT sangat sederhana, tetapi pengguna dituntut untuk mampu mengikuti prosedur,
termasuk kalibrasi untuk aplikasi herbisida agar efektif mengendalikan gulma
sasaran dan singgang padi (Lamid dan Hermawan 1996). Artinya, padi ditanam pada areal yang ditumbuhi gulma
yang sedang menurun pertumbuhannya sehingga tanaman lebih leluasa tumbuh dan
berkembang.
Teknologi
TOT telah diterima oleh sebagian petani di Sumatera Barat, tetapi belum tentu
diterima di daerah lain. Penerapan TOT bersifat spesifik sosio- agroekosistem
(air irigasi bisa diatur dan tenaga kerja sangat terbatas) dan telah
direkomendasikan oleh Komisi Teknologi Pertanian Provinsi Sumatera Barat
(Komisi Teknologi 1998). Teknologi ini bahkan termasuk ke dalam salah satu dari
10 jurus program intensifikasi paket D oleh Setdal Bimas padi sawah, di mana
OTS diubah menjadi olah tanah secara bijak (OTSB), terutama melalui TOT.
Ditinjau dari keunggulannya, terutama dalam hal konservasi lahan dan sumber
daya petani, efisiensi input, dan
peningkatan pendapatan, teknologi TOT perlu disosialisasikan karena merupakan
jawaban dari tantangan dalam mengatasi kelemahan OTS.
3.4.
Delineasi Wilayah Pengembangan Tanpa Olah Tanah ( TOT ).
TOT
secara teknis mempunyai keunggulan dibanding OTS, terutama hemat tenaga kerja
dan air irigasi. Namun, teknologi tersebut tidak selalu dapat diterapkan di semua
agroekosistem, terutama lahan sawah irigasi teknis di mana tenaga kerja belum
menjadi kendala. Oleh karena itu, pengembangan TOT akan mendapat respons yang
baik di wilayah yang mempunyai tenaga kerja dan air irigasi terbatas.
Penerapan
TOT bersifat spesifik sosio-agroekosistem. Delineasi pengembangan terkait
dengan konservasi sumber daya pada lahan sawah dataran tinggi (berlereng dan
berjenjang) dan pasang surut tipologi B, C, dan D ( Ananto dan Fagi 1993; Utomo
1995). Namun implementasinya tidak diarahkan ke wilayah usaha tani padat karya
karena akan menyaingi unit penyedia jasa alsintan olah tanah. Pada lahan sawah
pasang surut, penerapan TOT membantu mengatasi kekurangan tenaga kerja dan air,
serta menekan pelarutan unsur besi dan sulfur pada zona oksidasi.
IV.
KEUNGGULAN DAN HAMBATAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI TANPA OLAH TANAH
Banyak
yang menganggap bahwa TOT adalah teknologi tradisional. Namun, kajian ilmiah
menunjukkan bahwa teknologi ini sangat relevan dalam mendukung program
peningkatan indeks pertanaman (IP) yang didukung oleh varietas unggul umur
genjah, dan sangat potensial dalam menghadapi perubahan iklim, baik untuk
adaptasi maupun mitigasi. Hasil penelitian dan pengkajian selama 17 MT
membuktikan bahwa teknologi TOT memiliki beberapa keunggulan dan hambatan dalam
pengembangannya di tingkat pengguna.
4.1.
Efisiensi Pemanfaatan Sumber Daya dan Biaya
Penerapan
teknologi TOT pada penyiapan lahan dapat menghemat kebutuhan air sekitar 27%
dibanding teknologi OTS. Angka ini sudah memperhitungkan kehilangan air melalui
evapotranspirasi, perkolasi, dan seepage (Utomo et al. 1994). Lebih sedikitnya
kebutuhan air pada saat penyiapan lahan disebabkan oleh lama penggenangan lahan
sebelum tanam (Lamid 2001). Pada lahan
sawah jenis tanah Andosol, penggenangan yang diperlukan hanya 3 - 5 hari, pada
tanah Aluvial 10 hari, dan pada tanah Latosol 10-15 hari sebelum tanam. Dengan
OTS diperlukan waktu 20-30 hari untuk melumpurkan tanah sebelum tanam padi
(Utomo et al. 1994). Penghematan
penggunaan air ini akan mengurangi terjadinya rebutan air irigasi antarpetani
dan memperluas areal tanam di daerah yang menerapkan sistem irigasi gilir
giring.
Setelah
aplikasi herbisida pada budidaya TOT padi sawah, luas penutupan gulma tumbuh
yang berasosiasi dengan tanaman padi kurang dari 30% hingga tanaman berumur 45
HST (Lamid 2001). Dengan demikian, hanya diperlukan satu kali pengendalian
gulma selama pertumbuhan tanaman padi, yaitu pada 30 HST dengan jumlah tenaga
kerja 25 HOK/ ha, sedangkan untuk OTS memerlukan dua kali penyiangan dan
membutuhkan tenaga kerja 58 HOK. Oleh karena itu, penerapan TOT lebih hemat 57%
HOK dibanding OTS.
Teknologi
TOT hanya membutuhkan waktu 2 HOK untuk penyemprotan herbisida, sedangkan
teknologi OTS mencapai 39 hari/ha. Sekitar 25 hari di antaranya menggunakan
tenaga ternak untuk pembajakan I dan II, garu, dan perataan lahan, serta 14 HOK
untuk memperbaiki pematang (Ardjasa et al. 1994). Dengan demikian, penerapan
teknologi TOT menghemat 25 hari kerja ternak dan 12 HOK atau 95% dari penerapan
OTS (Lamid dan Hermawan 1996).
Penerapan
teknologi TOT pada lahan sawah pasang surut lebih banyak menghemat biaya untuk persiapan
lahan, mencapai 56-61%/ha. Hasil padi dengan penerapan teknologi TOT bahkan
15,2% lebih tinggi dibandingkan dengan teknologi OTS (menebas, melilit,
menghamburkan sisa gulma, dan tanam) (Lamid et al. 1996a, 1996b). Biaya yang
diperlukan untuk penyiapan 1 ha lahan bagi budi daya TOT hanya Rp.50.000 untuk
membiayai tenaga kerja 2 HOK, ditambah Rp.280.000 untuk pembelian 4 liter herbisida, atau biaya total Rp330.000/MT/ha.
Dengan OTS, biaya yang diperlukan Rp. 600.000/MT/ha atau TOT 45% lebih hemat (Adrizal
et al. 1998).
Demonstrasi
lapang teknologi TOT, OTS tanam pindah, dan TOT tanam benih langsung (totabela)
di Padang, Sumatera Barat, pada MH 1997 masing-masing memberikan revenue-cost
ratio 2,83; 2,53; dan 3,10 (Adrizal et
al. 1998). Hal ini menunjukkan bahwa teknologi TOT tanam pindah atau totabela
secara ekonomi lebih menguntungkan daripada OTS sehingga layak dikembangkan.
4.2.
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim.
Penerapan
teknologi TOT pada lahan sawah dapat menekan emisi GRK seperti CO2 ,
N2O, dan metana masing-masing 31,5%, 63,4%, dan 71% (Setyanto 2008).
Hal ini disebabkan dekomposisi gulma dan singgang padi terjadi secara aerobic karena
aplikasi herbisida tanpa mengganggu permukaan tanah dan tanpa penggenangan pada
saat penyiapan lahan (Argus Agronomics 1994; Lamid 2001). Pada saat terjadi
kekurangan air pengairan atau kemarau panjang, penerapan teknologi TOT tidak
merusak struktur tanah, hanya mengalami sedikit keretakan, sedangkan penerapan
OTS membuat tanah menjadi rengkah (Lamid 2001). Oleh karena itu, penerapan
teknologi TOT tidak mengganggu akar tanaman padi dan laju evaporasi pun lebih
rendah sehingga kondisi tanah tetap lembab untuk menunjang pertumbuhan tanaman lebih
baik. Penerapan teknologi TOT mempercepat waktu tanam sekitar 20 hari sehingga
jarak tanam antarmusim (turn around time) lebih singkat dan umur panen lebih
cepat (Lamid 2001). Pada gilirannya tanaman terhindar dari dampak kekeringan dan
IP300 atau IP400 mudah dicapai (Lamid et al. 1999a).
4.3.
Peningkatan Produktivitas.
Penerapan
teknologi TOT menyebabkan pertumbuhan morfofisiologi akar padi secara
horizontal relatif pendek dan lebih besar sehingga perakaran banyak
terakumulasi pada lapisan oksidasi (zonasi hara), dan sebaliknya jika
menerapkan teknologi OTS (perakaran vertikal, ramping, dan panjang). Dengan
demikian, hara lebih efisien diabsorpsi oleh akar tanaman padi yang lebih luas
permukaannya (Lamid 2001). Selain itu, aplikasi herbisida membantu mempercepat
pelapukan gulma dan singang tanaman padi. Materi lapuk tersebut akan tinggal
secara in situ dan menyumbang terhadap kandungan C-organik tanah (Lamid 2001).
Selanjutnya, dengan teknologi TOT nilai total hara N, P, dan K dalam tanah
selalu lebih rendah disbanding teknologi OTS (Musfal et al. 1996; Lamid 2001).
Artinya, hara tersebut banyak terabsorpsi sehingga berkontribusi terhadap pertumbuhan
vegetatif dan reproduktif tanaman. Namun, informasi pengelolaan hemat hara
tersebut untuk tanaman padi TOT belum tersedia.
Jumlah
gabah, gabah bernas, dan bobot 1.000 butir gabah yang dihasilkan tanaman dengan
penerapan teknologi TOT 8-22% lebih tinggi dibanding OTS (Lamid 2001). Hal ini
menunjukkan bahwa gabah yang dihasilkan lebih banyak, lebih bernas, dan relatif
lebih besar sehingga berkontribusi terhadap peningkatan hasil padi. Penanaman
padi dengan teknologi TOT tidak selalu dengan cara tanam pindah, tetapi juga
dapat dengan cara tabela (Lamid dan Anhar 1979; Lamid 2001). Hal ini lebih menghemat
tenaga kerja, waktu (tanam dan panen lebih cepat), dan biaya produksi (Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Tk I Sumatera Barat 1998).
4.4.
Kendala dan Hambatan
Penerapan
teknologi TOT kurang berkembang pada agroekosistem lahan sawah dibanding lahan
kering. Hal ini disebabkan oleh budaya petani yang masih terbiasa dengan OTS,
belum menyentuh pengguna karena kurangnya sosialisasi, diseminasi, dan promosi
teknologi TOT, dan berkembangnya unit pelayanan jasa alsintan sebagai pesaing
(Utomo 1995).
Kepemilikan
lahan sawah umumnya relatif sempit. Dalam kondisi tenaga kerja pengolah tanah
tersedia, petani belum tertarik menerapkan teknologi TOT. Di samping itu,
teknologi TOT belum dijadikan sebagai salah satu komponen teknologi dalam
program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) melalui penerapan pengelolaan
tanaman terpadu (PTT) (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2010). Untuk lebih
mengembangkan penerapan teknologi TOT pada sosio- agroekosistem spesifik maka
sosialisasi, diseminasi, promosi, dan pilot produksi padi sawah harus
dilakukan. Untuk itu, pengambil kebijakan terkait perlu mempertimbangkan
teknologi TOT sebagai komponen teknologi pilihan bagi petani dalam program
peningkatan produksi padi nasional, khususnya di lahan sawah.
V. ARAH DAN STRATEGI
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI
Penerapan
dan pengembangan teknologi TOT di lapangan belum sesuai dengan harapan, padahal
teknologi ini dapat dijadikan salah satu komponen teknologi dalam penerapan PTT
padi sawah. Oleh karena itu, arah dan strategi pengembangannya dapat
disesuaikan dengan agroekosistem yang ada.
5.1.
Arah Pengembangan
Pemanfaatan
jasa ekologi (ecological services) secara optimal dalam pengembangan teknologi
TOT padi sawah secara berkelanjutan, diarahkan pada dataran rendah, dataran
tinggi berlereng dan berjenjang (teraccering), dan sawah pasang surut tipologi
B, C, dan D. Pengembangannya juga untuk
mempercepat pengembangan teknologi hemat tenaga kerja, waktu, dan biaya
(conserving resource technology) pada wilayah sosio-agroekosistemnya, terutama
pada daerah yang langka tenaga kerja, dan daerah yang selalu bermasalah dengan
pengairan.
5.2.
Strategi Pengembangan
Petani
sebagai pengguna teknologi dituntut untuk berperan aktif dalam memilih dan
menguji teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat, dan meningkatkan
kemampuan melalui proses pembelajaran di lapangan. Penerapan teknologi memerhatikan
keterkaitan dengan komponen teknologi lainnya yang saling mendukung dan
berwawasan lingkungan.
Penerapan
teknologi di lapangan dapat diukur dengan keuntungan yang diperoleh dari segi
ekonomi usaha tani dan konsistensi konservasi sumber daya pada setiap musim
tanam. Di samping itu, keterlibatan pengambil kebijakan dan Forum Komunikasi
Olah Tanah Konservasi (FK-OTK) turut menentukan pengembangan teknologi di
lapangan. Aplikasinya perlu memerhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan
fisik, sosial-budaya, dan ekonomi petani setempat.
VI. KESIMPULAN DAN
IMPLIKASI KEBIJAKAN
Penerapan
TOT yang diintegrasikan dengan pengendalian gulma memberikan beberapa manfaat,
antara lain hemat tenaga kerja dan air serta adaptif dan mitigatif dalam
menghadapi perubahan iklim, namun tidak
dapat diterapkan di semua agroekosistem padi sawah. Pengembangan
teknologi TOT yang diintegrasikan dengan pengendalian gulma dapat dipercepat
pada agroekosistem dataran tinggi berlereng dan berjenjang serta lahan sawah
pasang surut tipologi B, C, dan D.
Dalam
budi daya padi sawah, petani sudah terbiasa menerapkan OTS. Untuk mengubah
kebiasaan tersebut diperlukan sosialisasi, diseminasi, dan promosi teknologi
TOT. Teknologi TOT padi sawah dikembangkan berdasarkan pertimbangan: (1) hemat tenaga
kerja, waktu, dan biaya penyiapan lahan; (2) konservasi lahan dan sumber daya
petani; dan (3) hasil dan keuntungan usaha tani lebih tinggi pada
sosio-agro-ekosistem spesifik. Pengembangan teknologi TOT secara nasional
memerlukan dukungan pengambil kebijakan, lembaga penelitian, terutama Badan
Litbang Pertanian, dan melibatkan FK-OTK, baik dalam kegiatan sosialisasi dan
pendampingan teknologi maupun sebagai pemandu atau pelatih petugas dan petani
di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman,
A., W. Hermawan, dan Hartarto. 1994. Sistem tanpa olah tanah pada padi sawah
dengan herbisida glifosat. Prosiding Konferensi Himpunan Ilmu Gulma Indonesia
XII: 217- 221.
Adrizal, W.
Hermawan, Z. Lamid, dan N. Hasan. 1998. Keunggulan komparatif teknik budi daya
tanpa olah tanah dengan herbisida glifosat pada padi sawah. hlm. 475-479. Dalam
Z. Irfan, Z. Lamid, D. Jahja, Irawati, dan Ardi (Ed.). Prosiding Seminar
Nasional VI Budidaya Pertanian Olah Tanah Konservasi. Himpunan Ilmu Gulma
Indonesia, Padang.
Ananto, E.E.
1989. Mekanisasi pertanian dalam usaha tani padi. hlm. 631-652. Dalam M.
Ismunadji, M. Syam, dan Yuswadi (Ed.). Padi, Buku 2. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Ananto, E.E.
dan A.M. Fagi. 1993. Pengolahan tanah di jalur pantura Jawa Barat. hlm.
101-108. Dalam M. Syam, H. Kasim, dan A. Musaddad (Ed.). Risalah Seminar Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, April 1992-Maret 1993. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Ardjasa, W.S.,
Widyantoro, G.E. Maliawan, W. Hermawan, dan S. Asmono. 1994. Sistem tanpa olah
tanah dengan herbisida isopropil amin glifosat 16 dan 24% dan pemupukan dalam
pengendalian gulma padi sawah. Prosiding Konferensi Himpunan Ilmu Gulma
Indonesia XII: 209-216.
Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2010. Road Map Strategi Sektor Pertanian
Menghadapi Perubahan Iklim. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Jakarta. 102 hlm.
Bangun,
P. 1995. Budidaya padi sawah dengan
sistem tanpa olah tanah. hlm. 301-305. Dalam M. Utomo, F.X. Susilo, R.J. Dad,
Sembodo, Sugianto, H. Susanto, dan A. Setiawan (Ed.). Prosiding Seminar
Nasional V Budidaya Pertanian Olah Tanah Konservasi, Universitas
Lampung-Himpunan Ilmu Gulma Indonesia-Himpunan Ilmu Tanah Indonesia-Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bandar Lampung.
Ditjentan
(Direktorat Jenderal Tanaman Pangan). 2010. Pedoman Pelaksanaan SLPTT Padi,
Jagung, Kedelai dan Kacang Tanah Tahun 2010. Direktorat Jenderal Tanaman
Pangan, Jakarta. 123 hlm.
Effendi, I.
dan M. Utomo. 1993. Analisis perbandingan tenaga kerja, produksi dan pendapatan
usaha tani kedelai pada sistem tanpa dan olah tanah biasa di Rawa Sragi,
Lampung. hlm. 247-253. Dalam M. Utomo, I.H. Utomo, dan F.X. Susilo (Ed.).
Prosiding Seminar Nasional IV Budidaya Pertanian Olah Tanah Konservasi,
Universitas Lampung-Himpunan Ilmu Gulma Indonesia-Himpunan Ilmu Tanah Indonesia-Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bandar Lampung.
Hasny, Z., I.
Anas, dan P. Bangun. 1989. Hubungan antara persiapan tanam dan sistem
pengendalian gulma dengan aktivitas mikroorganisme. Makalah disampaikan pada
Kongres Himpunan Ilmu Tanah Indonesia V, Medan, 7-10 Desember 1989.
Hosen, N., Z.
Lamid, Z. Irfan, dan Asyiardi. 1998. Kajian ekonomi penggunaan herbisida
persiapan lahan tanpa olah tanah dan pengendalian gulma pada budidaya padi
sawah pasang surut di Provinsi Sumatera Selatan. hlm. 516- 523. Dalam Z. Irfan,
Z. Lamid, D. Jahja, Irawati, Ardi (Ed.). Prosiding Seminar Nasional VI Budidaya
Pertanian Olah Tanah Konservasi, Himpunan Ilmu Gulma Indonesia, Padang.
Lamid, Z.
1993. Dampak dan strategi pengendalian sistem usaha tani lading berpindah di
kawasan hutan tropis Sumatera Barat. hlm. 75-80. Prosiding Seminar Ilmiah
Lustrum VI Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas,
Padang.
Lamid, Z., W.
Hermawan, dan G. Adlis. 1995. Pengaruh
waktu dan takaran pemberian herbisida isopropil amine glifosat dengan sistem
tanpa olah tanah pada padi sawah irigasi. hlm. 407- 417. Dalam M. Utomo, F.X.
Susilo, R.J. Dad, Sembodo, Sugianto, H.
Susanto, dan A. Setiawan (Ed.). Prosiding Se-minar Nasional V Budidaya
Pertanian Olah Tanah Konservasi, Universitas Lampung-Himpunan Ilmu Gulma
Indonesia-Himpunan Ilmu Tanah Indonesia-Institut Pertanian Bogor, Bandar
Lampung.
Las, I., H.
Syahbuddin, dan E. Surmaini. 2008. Iklim dan Tanaman Padi: Tantangan dan
peluang. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.
Monagro Kimia.
1995. Padi sawah tanpa olah tanah: Teknologi tanpa olah tanah salah satu
alternatif teknologi terapan dalam meningkatkan efisiensi waktu, tenaga dan
biaya produksi dan indeks pertanaman. Makalah Utama Seminar Sehari Peningkatan
Produksi Padi di Provinsi Riau, Pekanbaru, 25 Februari 1995.
Musfal, Z.
Lamid, dan W. Hermawan. 1996. Pengaruh herbisida isopropil amine glifosat
terhadap sifat kimia tanah dan hasil padi sawah tanpa olah tanah pada berbagai
agroekologi. Prosiding Konferensi Himpunan Ilmu Gulma Indo- nesia XIII(2):
650-656.
Utomo, M.
1995. Reorientasi kebijakan pengolahan tanah. hlm. 1-7. Dalam M. Utomo, F.X.
Susilo, Sembodo, R.J. Dad, Sugiatno, H. Susanto, dan A. Setiawan (Ed.).
Prosiding Seminar Nasional V Budidaya Pertanian Olah Tanah Kon- servasi,
Universitas Lampung-Himpunan Ilmu Gulma Indonesia-Himpunan Ilmu Tanah
Indonesia- Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bandar Lampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar