APLIKASI EKOFISIOLOGI DALAM SISTEM
PRODUKSI PADI BERKELANJUTAN
Oleh : ANANG BUDI PRASETYO,SP
BPP KECAMATAN GADING
BADAN KETAHANAN PANGAN DAN PELAKSANA
PENYULUHAN PERTANIAN
KABUPATEN PROBOLINGGO
______________________________________________________________________________________
I. PENDAHULUAN
Sampai saat ini padi
tidak hanya sebagai makanan pokok sebagian besar penduduk, tetapi juga
merupakan sumber perekonomian bagi
sebagian besar petani di pedesaan serta berperan dalam berbagai aspek sosial dan
politik nasional. Berdasarkan kenyataan ini maka usaha peningkatan
produktivitas padi nasional menjadi sangat kompleks, dan upaya peningkatan
produktivitas padi tetap perlu mendapat prioritas yang tinggi dalam pembangunan
pertanian di Indonesia.
Di sisi lain, adanya berbagai kendala biofisik dan teknis dalam peningkatan
produktivitas padi membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan holistik.
Produktivitas padi
nasional pada tahun 2006 rata-rata 4,57 ton GKG/ha dengan produksi 54,06 juta
ton pada areal panen 11,82 juta ha. Pada lahan sawah irigasi, produktivitas
padi 4,78 t/ha dengan produksi 51,2 juta ton pada areal panen 10,71 juta ha
(Badan Pusat Statistik 2006). Data tersebut menyiratkan bahwa lahan sawah tetap
menjadi andalan untuk pengadaan produksi pangan nasional. Sebaliknya,
pemanfaatan lahan bukan sawah (tadah hujan, gogo, dan rawa pasang surut) masih
terbatas dengan tingkat hasil masih rendah ( 3,31 t/ha), padahal lahan
tersebut sangat potensial dan akan makin luas digunakan pada masa mendatang.
Masih rendahnya
produktivitas padi pada lahan bukan sawah disebabkan oleh berbagai faktor,
antara lain: (1) belum terpecahkannya kendala lingkungan biofisik; (2)
keterbatasan genetik varietas padi berpotensi hasil tinggi dan/atau tahan/
toleran terhadap berbagai kendala biofisik seperti hama, penyakit, kekeringan,
keracunan Fe, Mn, Al, suhu dingin, dan drainase buruk; dan (3) cara pengelolaan
tanaman yang beragam dan sering kali tidak optimal karena adanya kendala
sosial, ekonomi, dan budaya.
Besarnya keragaman
kondisi lingkungan biofisik pertanaman padi, sosial ekonomi petani dan
masyarakat pedesaan menuntut pendekatan yang lebih komprehensif dan holistik
dengan sejumlah alternatif teknologi untuk karakteristik tertentu atau spesifik
lokasi. Kendala dan masalah utama dalam penerapan teknik budi daya spesifik
lokasi adalah: (1) terbatasnya kemampuan dalam menerjemahkan kondisi lingkungan
pertanaman padi menjadi kebutuhan terhadap komponen teknologi budi daya; (2)
belum terbiasanya memberikan rekomendasi tek nologi untuk skala kecil atau
spesifik lokasi; (3) belum tersedianya alat bantu sederhana untuk menentukan
cara budi daya yang tepat di suatu wilayah; (4) terbatasnya kemampuan
penyuluhan; dan (5) belum dimanfaatkannya komponen teknologi budi daya yang
beragam secara optimal oleh petani.
Kendala dan masalah
tersebut dapat dipecahkan melalui penggunaan sistem pakar (expert system)
padi yang ditunjang oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek),
khususnya teknologi informasi (TI). Pendekatan ekofisiologi yang diaplikasikan
melalui analisis sistem dan dioperasionalkan dengan sistem pakar merupakan
terobosan dalam upaya peningkatan produktivitas dan produksi padi nasional di
masa mendatang. Selama ini ekofisiologi dianggap sebagai ilmu dasar yang
teoritis, tidak berhubungan dengan ilmu-ilmu terapan lainnya seperti agronomi
(ilmu bercocok tanam), ilmu tanah, ilmu hama-penyakit tanaman, dan pemuliaan sehingga
dinilai tidak aplikatif.
Makalah ini bertujuan:
(1) memopulerkan
aplikasi ekofisiologi dalam sistem produksi padi;
(2) memperkenalkan sistem pakar untuk budi
daya padi spesifik lokasi; dan (3) menyusun strategi, kebijakan, dan program
ekofisiologi ke depan.
II. DINAMIKA
PENERAPAN EKOFISIOLOGI DALAM PERAKITAN
TEKNOLOGI BUDI DAYA PADI
2.1. EKOFISIOLOGI
SEBAGAI BIDANG ILMU MULTIGUNA
Ekofisiologi tanaman
merupakan salah satu cabang ilmu dalam fisiologi tanaman yang mempelajari
proses tumbuh kem bangnya tanaman (Salisbury dan Ross 1978). Berbeda dengan
cabang ilmu lain dalam fisiologi yang umumnya mempelajari proses di dalam
jaringan tanaman, ekofisiologi lebih menekankan bagaimana faktor lingkungan
berpengaruh terhadap proses di dalam tanaman.
Faktor lingkungan ada
yang sulit dikendalikan (iklim) dan ada yang mudah diatur (lahan, air, dan cara
budi daya). Bidang ekofisiologi dapat dimanfaatkan dalam berbagai aspek
pertanian, seperti: (1) menerjemahkan karakteristik lingkungan tumbuh (biotik dan
abiotik) menjadi dugaan keragaan pertumbuhan (potensi hasil dan hasil aktual)
tanaman sehingga pewilayahan komoditas dan produktivitas dimungkinkan; dan (2)
memberikan saran modifikasi lingkungan tumbuh mendekati optimal melalui cara
budi daya yang tepat (spesifik lokasi) agar penyerapan hara, pemanfaatan
radiasi surya, dan proses pertumbuhan tanaman berlangsung optimal.
Bidang ekofisiologi
dapat menerangkan proses dinamis di dalam tanaman sebagai respons terhadap faktor eksternal (lingkungan
dan pengelolaan). Oleh karena itu, model dinamis, simulasi, dan analisis sistem
sangat tepat untuk diterapkan bagi upaya peningkatan produktivitas. Dengan cara
ini, (1) pendugaan respons tanaman terhadap lingkungan secara spesifik lokasi
dan musim dapat dilakukan; (2) bentuk tanaman tipe ideal untuk potensi hasil
tinggi dapat dirancang; (3) potensi hasil berbagai varietas padi pada
lingkungan (lokasi dan musim) tertentu dapat diduga (Sutoro et al.
1991); (4) perubahan produktivitas tanaman akibat perubahan iklim global dan
anomali iklim untuk masa kini dan mendatang dapat digambarkan (de Rozari et
al. 1992); (5) dengan memanfaatkan model dinamika hara dalam tanah dan
kesesuaiannya dengan pola pertumbuhan perakaran tanaman memungkinkan
pengelolaan hara (pemberian pupuk) secara tepat pada lokasi spesifik (Makarim et
al. 1991); dan (6) proses pelepasan gas-gas rumah kaca (GRK) dari lahan
pertanian sebagai fungsi dari berbagai aspek budi daya tanaman, termasuk
varietas dengan karakteristik tertentu, dapat dikuantifikasi sehingga cara
mitigasi yang tepat untuk mengurangi emisi GRK dapat ditentukan (Makarim et
al. 1996; Makarim dan Setyanto 1997).
Pendekatan ekofisiologi
hampir selalu berdasarkan proses (dinamika) sehingga hasil pendugaan dan
anjurannya akan lebih akurat, ilmiah (dapat diterangkan), dinamis, dan spesifik
lingkungan (lokasi dan musim). Keunggulan tersebut sesuai untuk merakit sistem
pakar, yaitu perangkat lunak yang dapat digunakan sebagai konsultan untuk
menjawab berbagai pertanyaan praktis tertentu, seperti menentukan teknik budi
daya padi spesifik lokasi, yang diyakini dapat meningkatkan produktivitas padi,
pendapatan petani, dan menjaga kelestarian lingkungan.
2.2. PERBAIKAN PENGELOLAAN HARA DAN PUPUK
Kondisi lingkungan Indonesia yang
beragam menyebabkan hasil dan permasalahan dalam sistem produksi padi pun
sangat bervariasi, antara lain masalah hara dan pemupukan. Identifikasi hara
yang sering menjadi penyebab rendahnya atau berkurangnya hasil padi sawah,
sawah tadah hujan, dan padi gogo telah dilakukan di berbagai lokasi dengan
teknik minus satu unsur, yang sekarang dikenal dengan nama petak omisi (omission
plots) (Hidayat et al. 1989; Abdulrachman et al. 2003),
maupun dengan diagnosis hara tanaman (Hidayat dan Makarim 1992). Kahat N,
keracunan Fe, kekeringan, dan salinitas merupakan penyebab utama rendahnya
hasil padi masa lalu dan juga untuk masa mendatang (Makarim et al. 1989;
Makarim 2006).
Hara N. Tanah sawah di Jawa
hampir semuanya kahat N dengan persen respons berkisar antara 30-75%. Artinya,
tanpa pemberian pupuk N, hasil padi berkurang 25-70% dari biasanya (yang diberi
90 kg N/ha). Hara N selain esensial bagi pembentukan gabah, juga meningkatkan
kualitas hasil tanaman pangan lainnya (Ismunadji dan Makarim 1987).
Hara P. Hara P bermasalah di sebagian
besar lahan masam (latosol, podsolik atau Oxisols, Ultisols) dengan persen
respons berkisar antara 50-75%. Lahan tersebut terutama terdapat di Jawa Barat,
Lampung, dan tanah-tanah sawah di sekitar wilayah rawa pasang surut (Makarim et
al. 1989; Gunarto et al. 1998). Namun, pada kebanyakan ( 85% luas baku) lahan sawah di Jawa
dan Madura, tanaman padi tidak/ kurang respons (kenaikan hasil <10%)
terhadap pemberian pupuk P (Pusat Penelitian Tanah 1988).
Hara K. Tanah kahat K dicirikan
dengan tanah bertekstur kasar (berpasir), tanah tua masam, tanah alkalin, dan
tanah berliat tipe 2:1 (Grumusol atau Vertisol) (Djazuli dan Makarim 1992). Hal
ini disebabkan sumber K banyak berasal dari sisa-sisa jerami tanaman padi
sebelumnya, dari air irigasi, dan dari mineral tanah itu sendiri. Namun, pada
daerah persawahan intensif (hasil dan total biomassa tinggi) yang hanya
menekankan pemberian pupuk N dan P secara berlebih tanpa penambahan K, dengan
waktu lahan akan menjadi kahat K (Makarim 1993). Selain itu, secara tidak
langsung hara K juga berperan dalam menguatkan dinding sel tanaman sehingga
tanaman lebih tahan terhadap serangan hama,
penyakit, dan kekeringan (Makarim et al. 1989)
Hara S. Pada kondisi sawah
terlalu reduktif atau pH tanah netral hingga alkali, tanaman padi sering
kekurangan belerang (S). Kahat hara S antara lain ditemukan di daerah Cihea
(Cianjur), Secang (Magelang), Ngale (Ngawi), dan beberapa lokasi lainnya
(Ismunadji et al. 1986). Pada lahan kering, kahat S umumnya disebabkan
oleh neraca hara negatif, artinya lebih banyak S ke luar dari sistem (hasil
panen, sisa-sisa tanaman yang diangkut) dibandingkan dengan jumlah S yang masuk
(dalam bentuk pupuk, air hujan atau bahan organik) ke dalam sistem (Makarim
1990, 1991; Sismiyati et al. 1992, 1994). Kahat hara S dapat menurunkan
hasil gabah hingga 50%, meskipun pada luasan yang sempit (< 1% dari total
luas areal sawah).
Hara mikro (Zn, Cu). Melalui diagnosis kandungan hara mikro tanah
pada lahan sawah bukaan baru bertekstur pasir dan berkeracunan besi di daerah
Nagedang, Riau, pemberian larutan 0,5% Cu dan 1% Zn yang disemprotkan ke daun
tanaman padi atau setara dengan 2 kg ZnSO
dan 1 kg CuSO /ha
disertai perbaikan drainase dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman, menghijaukan
warna daun yang telah kuning, dan meningkatkan hasil padi. Dengan perlakuan
seperti itu, sawah menjadi produktif dengan hasil 3 t GKG/ha yang sebelumnya
selama 8 tahun tanaman belum pernah tumbuh hingga menghasilkan gabah (Makarim et
al. 1997).
Berdasarkan uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa koreksi kekurangan hara yang tepat pada tanaman
padi akan berdampak besar terhadap peningkatan hasil dan produksi padi,
penghematan penggunaan pupuk dan input produksi lainnya, serta ketahanan
pangan dan peningkatan pendapatan petani. Inilah salah satu peran ekofisiologi
melalui diagnosis hara tanaman dan penerjemahan karakteristik lahan mendukung
sistem produksi padi berkelanjutan yang perlu disosialisasikan secara meluas.
Setelah jenis hara yang
dibutuhkan diketahui, selanjutnya jumlah kebutuhan pupuk yang optimal bagi
tanaman padi perlu ditetapkan. Sejarah singkat penetapan dosis pupuk adalah
sebagai berikut:
1. Percobaan dosis pupuk bertingkat di lokasi
tertentu. Cara ini langsung dapat mengetahui takaran pupuk optimum di lokasi
tersebut, namun kelemahannya tidak dapat digunakan untuk lokasi lain sehingga
perlu banyak lokasi dan musim.
2. Penetapan dosis pupuk berdasarkan status hara
tanah. Cara ini lebih akurat dibandingkan cara pertama karena mempertimbangkan
jumlah hara yang sudah ada di dalam tanah. Untuk mendukung cara ini,
dikembangkan uji tanah dan test kit (Brown 1962; Mombiela et al.
1981; Soepartini 1995)
Perubahan cara
rekomendasi dari cara pertama ke kedua dilaporkan telah banyak menghemat
penggunaan pupuk dan meningkatkan produksi padi secara nasional (Pusat
Penelitian Tanah 1988).
Permasalahan utama dalam
mengusahakan ketepatan pemberian pupuk adalah faktor efisiensi atau efisiensi recovery,
yaitu banyaknya hara asal pupuk yang masuk terserap ke dalam tanaman dibagi
dengan hara pupuk yang diberikan. Efisiensi ini merupakan fungsi dari berbagai
faktor eksternal (tekstur tanah, pH tanah,
iklim, pengelolaan
tanaman, bentuk pupuk dan cara pemberiannya) dan faktor internal tanaman (pola
perakaran, pola pertumbuhan tanaman, kesehatan tanaman, dan kebutuhan hara per
fase tumbuh tanaman) (Fagi et al. 1990; Sismiyati et al. 1992;
Makarim et al. 1995). Keselarasan antara pertumbuhan tanaman dan akar,
serta dinamika ketersediaan hara di dalam tanah sangat berpengaruh terhadap
besarnya efisiensi (Makarim et al. 1991;19994 )
2.3. PENYIASATAN SISTEM PRODUKSI PADI DI LAHAN MARGINAL
Lahan marginal yaitu
lahan yang secara alami memiliki kendala bagi pertumbuhan tanaman, seperti
lahan berkadar besi tinggi, lahan sulfat masam, lahan kering masam, dan tanah
organik. Lahan-lahan tersebut banyak terdapat di Indonesia dan bahkan dijadikan
sasaran untuk perluasan areal tanaman padi pada masa mendatang.
2.4. PENYIASATAN KENDALA
KERACUNAN BESI
Pada lahan berkadar besi
tinggi seperti pada kasus pembukaan lahan baru di Batumarta, Sumatera Selatan
(Makarim et al. 1989) dan di Nagedang, Riau (Makarim et al.
1997), hasil padi meningkat dari sangat rendah (< 1 t GKG/ha) menjadi 4 t
GKG/ha dengan cara berikut: (1) penggunaan varietas padi yang relatif toleran
terhadap keracunan besi seperti Cisanggarung, Batang Ombilin, dan IR42; (2)
pengaturan tata air melalui saluran drainase dan pencucian besi terlarut; dan
(3) pemberian pupuk P dan K berlebih dari dosis anjuran biasa.
2.5. PENYIASATAN KENDALA
LAHAN KERING MASAM BUKAAN BARU
Lahan kering bukaan baru
di daerah transmigrasi Sitiung II, Sumatera Barat, mengalami kehilangan lapisan
olah tanah pada waktu pembukaan lahan dan meninggalkan lapisan tanah yang
memadat, tanah sangat masam (pH 4,0-4,5), kejenuhan Al sangat tinggi (80-90%),
miskin hara, dan tererosi berat (Makarim et al. 1989). Pada kondisi
tanah demikian, tanaman pangan termasuk juga gulma tidak mampu tumbuh. Tindakan
perbaikan dilakukan dengan membuat teras-teras bangku dan memberi kapur pada
jalur yang akan ditanami saja agar efisien dan efektif menurunkan kejenuhan
Al-dd menjadi sekitar 30% pada daerah perakaran tanaman. Pupuk N, P, dan K
diberikan sesuai dengan status hara tanah dan kebutuhan tanaman dalam pola
rotasi padi gogo – kedelai – kacang hijau. Hasil padi gogo varietas Sentani
waktu itu mencapai 2,0-2,5 t GKG/ha, kedelai 1,7–2,0 ton biji kering/ha, dan
kacang hijau 1 ton biji/ha. Pada tahun kedua, hasil yang diperoleh hampir sama,
meskipun kapur tidak diberikan lagi.
2.6. PENYIASATAN LAHAN
RAWA PASANG SURUT
Lahan rawa pasang surut
bagi tanaman pangan khususnya padi pada umumnya memiliki kendala pH rendah
hingga sangat rendah (<5,0), keracunan Fe dan Al, dan kahat P. Strategi
untuk meningkatkan produktivitas lahan rawa pasang surut ditempuh dengan dua
cara utama, yaitu: (1) reklamasi lahan; dan (2) pengelolaan tanaman. Reklamasi
lahan dilakukan dengan pengaturan tata air mikro untuk mencuci/ membuang
kelebihan ion Fe +SO3 (sulfat), dan
asam-asam organik dari lahan seraya memasukkan air tawar/pengairan sehingga
kondisi tanah menjadi lebih baik (Djajusman et al. 1995). Kapur diberikan
secara efisien (1 t/ha) sekali saja untuk menginisiasi pertumbuhan akar
tanaman. Pupuk KCl diberikan sedikit berlebih (100 kg/ha) guna meningkatkan
ketahanan tanaman terhadap keracunan besi, penyakit, dan kekeringan. Dengan
cara demikian, hasil padi meningkat dari 1-2 t/ha menjadi 3-4 t/ha (Aslan et
al. 1992; Anwar et al. 1994).
Dengan makin membaiknya kondisi tanah akibat
reklamasi lahan, makin banyak pilihan komoditas dan varietas yang dapat dikembangkan.
Cara pengelolaan tanaman dilakukan dengan memilih komoditas dan varietas yang
relatif toleran, seperti padi varietas Kapuas, Cisanggarung, IR42, IR66,
Lematang, Sei Lilin, Banyuasin, Dendang, dan Batanghari (Suprihatno et al.
2000). Pada lahan dengan kemasaman dan kadar besi lebih tinggi dapat digunakan
varietas unggul lokal dengan umur 120-150 hari dan hasil 2-3 t/ha, seperti Talang,
Ceko, Mesir, Jalawara, Siam Lemo Semut, Pontianak, Sepulo, Pance, Salimah Jambi
Rotan, dan Tumbaran.
Lahan pasang surut di Indonesia luasnya
mencapai 20,1 juta ha (Widjaja- Adhi et al. 1994). Keberhasilan peningkatan
produktivitas tanaman pangan di wilayah ini tentunya akan nyata meningkatkan
produksi nasional dan memperkuat ketahanan pangan.
2.7. PERBAIKAN FAKTOR INTERNAL TANAMAN
Keterbatasan potensi hasil padi makin terasa
dengan sulitnya meningkatkan hasil padi aktual meskipun berbagai cara pengelolaan
tanaman-lingkungan telahdilakukan. Varietas berdaya hasil tinggi dipilah
berdasarkan bentuk tajuk, yang erat kaitannya dengan efektivitas menangkap radiasi
surya untuk fotosintesis. Bentuk tajuk dinilai menggunakan parameter statistik, skewness, yaitu kesimetrisan distribusi luas
daun. Koefisien skewness dari 20 varietas yang dinilai berkisar antara -0,035
(IR70) dan +0,348 (IR66), sedangkan IR64 mempunyai skewness +0,177. Makin kecil
nilai skewness, makin luas bagian daun
tanaman di bagian atas dan makin berat biomassa yang dihasilkan akibat lebih efektifnya
tajuk menyerap radiasi surya (Sutoro dan Makarim 1997). Cara ini dapat digunakan
dalam program seleksi varietas berdaya hasil tinggi.
Hasil fotosintesis
sebagian digunakan dalam respirasi dan sebagian dialokasikan ke bagian-bagian
tanaman utama seperti batang, daun, malai, dan akar. Varietas yang efisien
mempunyai ciri hasil fotosintesis lebih banyak dialokasikan ke bagian tanaman
yang paling bermanfaat pada tiap fase tumbuhnya; misalnya pada fase vegetatif
lebih banyak ke daun yang sedang aktif berfotosintesis, dan pada fase generatif
lebih banyak ke malai untuk peng- isian gabah.
Varietas IR64 memiliki
proporsi bobot daun pada fase vegetatif 0,46, sedangkan varietas unggul tipe
baru (VUTB sedikit lebih tinggi yaitu 0,47-0,50. Pada fase matang fisiologis,
proporsi bobot kemalai untuk varietas IR64 adalah 0,57, sedangkan VUTB beragam
antara 0,53-0,60 (Makarim et al. 2005a). Dengan demikian,perbaikan pola alokasi
seperti digambarkan di atas akan dapat meningkatkan produktivitas tanaman.
Hubungan sinks dan
sources dalam tanaman juga menentukan potensi hasil tinggi. VUTB
Fatmawati, misalnya, termasuk varietas yang memiliki sinks tinggi, namun source
kadang kala kurang memadai (Makarim et al. 2004). Pada kondisi kurang sinar
matahari, drainase buruk, dan kahat N, sinks yang banyak tersebut tidak terisi oleh
sources sehingga persentase jumlah gabah hampa tinggi. Pada varietas dengan jumlah sink terbatas atau jumlah total gabah
sedikit, sources yang sama dengan VUTB Fatmawati telah memenuhi hamper seluruh
gabah yang terbentuk sehingga persentase gabah isi mendekati 100%, namun
tingkat hasilnya tetap tidak tinggi. Oleh karena itu, dalam usaha memaksimalkan
produktivitas padi tidak bisa dipisahkan
antara tanaman dan lingkungan, tetapi harus dipandang sebagai suatu sistem yang
merupakan prinsip ekofisiologi.
2.8. PERBAIKAN PENGELOLAAN TANAMAN
Peningkatan jumlah
populasi tanaman dalam upaya meningkatkan hasil padi ternyata tidak selalu
dapat tercapai. Hal ini disebabkan oleh menurunnya kuantitas dan/atau kualitas
sebagian komponen hasil lainnya serta meningkatnya serangan penyakit (Makarim
et al. 2005a). Oleh karena itu, pada pertanaman rapat, diperlukan pemupukan N
dan K tambahan.
Setiap varietas padi
memiliki keunggulan dan kelemahan, berupa potensi hasil (tinggi atau rendah),
umur (pendek atau panjang), rasa nasi (pulen atau pera), tahan atau rentan
terhadap hama-penyakit tertentu, toleran atau peka terhadap keracunan Fe, Mn,
Al, kemasaman tanah, salinitas, dan kesesuaian dengan permintaan pasar dalam
hal rasa nasi, aroma, dan bentuk gabah. Penanaman varietas yang tepat dilokasi
yang tepat, selain akan memberikan hasil sesuai dengan potensinya, juga akan menaikkan
harga jual gabah.
Prinsip ekofisiologi
dalam pengelolaan tanaman menjadi sangat penting. Pengelolaan dan kondisi
lingkungan selalu diterjemahkan pengaruhnya terhadap proses fisiologis tanaman,
seperti laju fotosintesis, respirasi, partisi, dan penuaan, yang akhirnya
menentukan tingkat hasil. Pengelolaan yang baik akan dapat mengoptimalkan
proses fisiologi dalam tanaman sebagai prasyarat untuk mencapai hasil tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar