PEMANFAATAN OBAT TRADISIONAL
DENGAN PERTIMBANGAN MANFAAT DAN KEAMANANNYA
Oleh
:
ANANGBUDI
PRASETYO,SP
I.
PENDAHULUAN
Sejak
jaman dahulu, manusia sangat mengandalkan lingkungan sekitarnya untuk memenuhi
kebutuhannya. Misalnya untuk makan, tempat berteduh, pakaian, obat, pupuk,
parfum, dan bahkan untuk kecantikan dapat diperoleh dari lingkungan. Sehingga
kekayaan alam di sekitar manusia sebenarnya sedemikian rupa sangat bermanfaat
dan belum sepenuhnya digali, dimanfaatkan, atau bahkan dikembangkan.
Bangsa
Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat obat sebagai
salah satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatan. Pengetahuan tentang tanaman berkhasiat obat
berdasar pada pengalaman dan ketrampilan yang secara turun temurun telah
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Penggunaan
bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh nenek
moyang kita sejak berabad-abad yang lalu terbukti dari adanya naskah lama pada
daun lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak pabbura (Sulawesi Selatan),
dokumen Serat Primbon Jampi, Serat Racikan Boreh Wulang nDalem dan relief candi
Borobudur yang menggambarkan orang sedang meracik obat (jamu) dengan tumbuhan
sebagai bahan bakunya (Sukandar E Y, 2006).
Obat herbal telah diterima secara luas di
hampir seluruh Negara di dunia. Menurut WHO, negaranegara di Afrika, Asia dan
Amerika Latin menggunakan obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang
mereka terima. Bahkan di Afrika, sebanyak 80% dari populasi menggunakan obat
herbal untuk pengobatan primer (WHO, 2003). Faktor pendorong terjadinya
peningkatan penggunaan obat herbal di negara maju adalah usia harapan hidup
yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan
penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu di antaranya kanker serta
semakin luas akses informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia (Sukandar E
Y, 2006).
WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional
termasuk herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan
pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan
kanker. WHO juga mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan khasiat
dari obat tradisional (WHO, 2003).
Penggunaan obat tradisional secara umum
dinilai lebih aman dari pada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena
obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada
obat modern.
II. KETEPATAN
PENGGUNAAN OBAT TRADISIONAL
Efek samping obat
tradisional relatif kecil jika digunakan secara tepat, yang meliputi :
1.
Kebenaran bahan
Tanaman
obat di Indonesia terdiri dari beragam spesies yang kadang kala sulit untuk
dibedakan satu dengan yang lain. Kebenaran bahan menentukan tercapai atau
tidaknya efek terapi yang diinginkan.
Sebagai
contoh lempuyang di pasaran ada beberapa macam yang agak sulit untuk dibedakan
satu dengan yang lain. Lempuyang emprit (Zingiber amaricans) memiliki
bentuk yang relative lebih kecil, berwarna kuning dengan rasa yang pahit.
Lempuyang emprit ini berkhasiat sebagai penambah nafsu makan. Jenis yang kedua
adalah lempuyang gajah (Zingiber zerumbet) yang memiliki bentuk lebih
besar dan berwarna kuning, jenis ini pun berkhasiat sebagai penambah nafsu
makan. Jenis yang ketiga adalah lempuyang wangi (Zingiber aromaticum)
yang memiliki warna agak putih dan berbau harum. Tidak seperti kedua jenis
lempuyang sebelumnya, jenis ini memiliki khasiat sebagai pelangsing
(Sastroamidjojo S, 2001).
Di
Belgia, 70 orang harus menjalani dialysis atau transplantasi ginjal akibat
mengkonsumsi pelangsing dari tanaman yang keliru (WHO, 2003).
2.
Ketepatan dosis
Tanaman
obat, seperti halnya obat buatan pabrik memang tak bisa dikonsumsi sembarangan.
Tetap ada dosis yang harus dipatuhi, seperti halnya resep dokter. Buah mahkota
dewa, misalnya, hanya boleh dikonsumsi dengan perbandingan 1 buah dalam 3 gelas
air. Sedangkan daun mindi baru berkhasiat jika direbus sebanyak 7 lembar dalam
takaran air tertentu (Suarni, 2005).
Hal
ini menepis anggapan bahwa obat tradisional tak memiliki efek samping. Anggapan
bila obat tradisional aman dikonsumsi walaupun gejala sakit sudah hilang adalah
keliru. Sampai batas-batas tertentu, mungkin benar. Akan tetapi bila sudah
melampaui batas, justru membahayakan.
Efek
samping tanaman obat dapat digambarkan dalam tanaman dringo (Acorus
calamus), yang biasa digunakan untuk mengobati stres. Tumbuhan ini memiliki
kandungan senyawa bioaktif asaron. Senyawa ini punya struktur kimia mirip
golongan amfetamin dan ekstasi. Dalam dosis rendah, dringo memang dapat
memberikan efek relaksasi pada otot dan menimbulkan efek sedatif (penenang)
terhadap sistem saraf pusat ((Manikandan S, dan Devi RS., 2005), (Sukandar E Y,
2006)). Namun, jika digunakan dalam dosis tinggi malah memberikan efek
sebaliknya, yakni meningkatkan aktivitas mental (psikoaktif) (Fang Y, et al.,
2003). Asaron dringo, juga merupakan senyawa alami yang potensial sebagai
pemicu timbulnya kanker, apalagi jika tanaman ini digunakan dalam waktu lama
(Abel G, 1987). Di samping itu, dringo bisa menyebabkan penumpukan cairan di
perut, mengakibatkan perubahan aktivitas pada jantung dan hati, serta dapat
menimbulkan efek berbahaya pada usus ((Chamorro G, et al., 1999),(Garduno L, et
al., 1997), (Lopez ML, et al., 1993)). Berdasarkan fakta ilmiah itu, Federal
Drugs of Administration (FDA) Amerika Serikat telah melarang penggunaan
dringo secara internal, karena lebih banyak mendatangkan kerugian dari pada
manfaat (Suarni, 2005).
Takaran
yang tepat dalam penggunaan obat tradisional memang belum banyak didukung oleh
data hasil penelitian. Peracikan secara tradisional menggunakan takaran
sejumput, segenggam atau pun seruas yang sulit ditentukan ketepatannya.
Penggunaan takaran yang lebih pasti dalam satuan gram dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya efek yang tidak diharapkan karena batas antara racun dan
obat dalam bahan tradisional amatlah tipis. Dosis yang tepat membuat tanaman
obat bisa menjadi obat, sedangkan jika berlebih bisa menjadi racun.
3.
Ketepatan waktu penggunaan
Kunyit
diketahui bermanfaat untuk mengurangi nyeri haid dan sudah turun-temurun
dikonsumsi dalam ramuan jamu kunir asam yang sangat baik dikonsumsi saat datang
bulan (Sastroamidjojo S, 2001). Akan tetapi jika diminum pada awal masa
kehamilan beresiko menyebabkan keguguran. Hal ini menunjukkan bahwa ketepatan
waktu penggunaan obat tradisional menentukan tercapai atau tidaknya efek yang
diharapkan.
4.
Ketepatan cara penggunaan
Satu
tanaman obat dapat memiliki banyak zat aktif yang berkhasiat di dalamnya.
Masing-masing zat berkhasiat kemungkinan membutuhkan perlakuan yang berbeda
dalam penggunaannya. Sebagai contoh adalah daun Kecubung jika dihisap seperti
rokok bersifat bronkodilator dan digunakan sebagai obat asma. Tetapi jika
diseduh dan diminum dapat menyebabkan keracunan / mabuk (Patterson S, dan
O’Hagan D., 2002).
5.
Ketepatan telaah informasi
Perkembangan
teknologi informasi saat ini mendorong derasnya arus informasi yang mudah untuk
diakses. Informasi yang tidak didukung oleh pengetahuan dasar yang memadai dan
telaah atau kajian yang cukup seringkali mendatangkan hal yang menyesatkan.
Ketidaktahuan bisa menyebabkan obat tradisional berbalik menjadi bahan
membahayakan.
Contohnya,
informasi di media massa meyebutkan bahwa biji jarak (Ricinus communis
L) mengandung risin yang jika dimodifikasi dapat digunakan sebagai antikanker
(Wang WX, et al., 1998). Risin sendiri bersifat toksik / racun sehingga jika
biji jarak dikonsumsi secara langsung dapat menyebabkan keracunan dan diare
((Audi J, et al., 2005), (Sastroamidjojo S, 2001)).
Contoh
lainnya adalah tentang pare. Pare, yang sering digunakan sebagai lalapan
ternyata mengandung khasiat lebih bagi kesehatan. Pare alias paria (Momordica
charantia) kaya mineral nabati kalsium dan fosfor, juga karotenoid. Pare
mengandung alpha-momorchorin, beta-momorchorin dan MAP30 (momordica antiviral
protein 30) yang bermanfaat sebagai anti HIVAIDS ((Grover JK dan Yadav SP,
2004), (Zheng YT, et al., 1999)). Akan
tetapi, biji pare juga mengandung triterpenoid yang mempunyai aktivitas anti
spermatozoa, sehingga penggunaan biji pare secara tradisional dengan maksud
untuk mencegah AIDS dapat mengakibatkan infertilitas pada pria ((Girini MM, et
al., 2005), (Naseem MZ, et al., 1998)). Konsumsi pare dalam jangka panjang,
baik dalam bentuk jus, lalap atau sayur, dapat mematikan sperma, memicu
impotensi, merusak buah zakar dan hormon pria, bahkan berpotensi merusak liver
((Basch E, et al., 2003), (Lord MJ, et al., 2003)). Bagi wanita hamil,
sebaiknya konsumsi pare dibatasi karena percobaan pada tikus menunjukkan
pemberian jus pare menimbulkan keguguran.
6.
Tanpa penyalahgunaan
Tanaman
obat maupun obat tradisional relatif mudah untuk didapatkan karena tidak
memerlukan resep dokter, hal ini mendorong terjadinya penyalahgunaan manfaat
dari tanaman obat maupun obat tradisional tersebut. Contoh :
a. Jamu peluntur untuk terlambat bulan sering
disalahgunakan untuk pengguguran kandungan. Resiko yang terjadi adalah bayi
lahir cacat, ibu menjadi infertil, terjadi infeksi bahkan kematian.
b. Menghisap kecubung sebagai psikotropika.
c. Penambahan bahan kimia obat
Pada
bulan Mei 2003, Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Pekanbaru menarik
9.708 kotak obat tradisional dari peredaran dan memusnahkannya. Obat yang
ditarik dari peredarannya sebagian besar berupa jamu-jamuan yang mengandung
bahan-bahan kimia obat (BKO) berbahaya bagi tubuh pemakainya. Bahan-bahan kimia
obat yang biasa dicampurkan itu adalah parasetamol, coffein, piroksikam,
theophylin, deksabutason, CTM, serta bahan kimia penahan rasa sakit seperti
antalgin dan fenilbutazon (Kompas, 31 Mei 2003). Bahan-bahan kimia obat
tersebut dapat menimbulkan efek negatif di dalam tubuh pemakainya jika
digunakan dalam jumlah banyak. Bahan kimia seperti antalgin misalnya, dapat
mengakibatkan kerusakan pada organ pencernaan, berupa penipisan dinding usus
hingga menyebabkan pendarahan. Fenilbutazon dapat menyebabkan pemakainya
menjadi gemuk pada bagian pipi, namun hanya berisi cairan yang dikenal dengan
istilah moonface, dan jika digunakan dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan osteoporosis.
7.
Ketepatan pemilihan obat untuk indikasi tertentu
Dalam
satu jenis tanaman dapat ditemukan beberapa zat aktif yang berkhasiat dalam
terapi. Rasio antara keberhasilan terapi dan efek samping yang timbul harus
menjadi pertimbangan dalam pemilihan jenis tanaman obat yang akan digunakan
dalam terapi.
Contoh,
daun Tapak dara mengandung alkaloid yang bermanfaat untuk pengobatan diabetes.
Akan tetapi daun Tapak dara juga mengandung vincristin dan vinblastin yang
dapat menyebabkan penurunan leukosit (sel-sel darah putih) hingga ± 30%.,
akibatnya penderita menjadi rentan terhadap penyakit infeksi ((Bolcskei H, et
al., 1998), (Lu Y, et al., 2003), (Noble RL, 1990), (Wu ML, et al., 2004)).
Padahal pengobatan diabetes membutuhkan waktu yang lama sehingga daun Tapak
dara tidak tepat digunakan sebagai antidiabetes melainkan lebih tepat digunakan
untuk pengobatan leukemia.
III.
PENUTUP
Efek
samping obat tradisional relatif kecil jika digunakan secara tepat, yang
meliputi kebenaran bahan, ketepatan dosis, ketepatan waktu penggunaan,
ketepatan cara penggunaan, ketepatan telaah informasi, dan tanpa penyalahgunaan
obat tradisional itu sendiri.
Penelitian
yang telah dilakukan terhadap tanaman obat sangat membantu dalam pemilihan
bahan baku obat tradisional. Pengalaman empiris ditunjang dengan penelitian
semakin memberikan keyakinan akan khasiat dan keamanan obat tradisional.
DAFTAR PUSTAKA
Abel
G, 1987, Chromosome-damaging effect of beta-asaron on human lymphocytes, Planta
Med., 53(3): 251-3.
Audi
J, Belson M, Patel M, Schier J, Osterloh J., 2005, Ricin poisoning: a
comprehensive review, J American Medical Association, 294 (18): 2342-51.
Basch
E, Gabardi S, Ulbricht C, 2003, Bitter melon (Momordica charantia): a review of
efficacy and safety, Am J Health Syst Pharm., 60(4): 356-9.
Bolcskei
H, Szantay C Jr, Mak M, Balazs M, Szantay C, 1998, New antitumor derivatives of
vinblastine, Acta Pharm Hung., 68(2): 87-93.
BPOM
RI, Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik, http://pom.go.id/public/
hukum_perundangan/pdf/ SK%20CPOTB(1).pdf, diakses Desember 2005.
Chamorro
G, Salazar M, Tamariz J, Diaz F, Labarrios F., 1999, Dominant lethal study of
alphaasarone in male and female mice after sub-chronic treatment., Phytother
Res., 13(4): 308-11.
Fang
Y, Li L, Wu Q, 2003, Effects of
beta-asaron on gene expression in mouse brain, Zhong Yao Cai,
26(9):650-2.
Garduno
L, Salazar M, Salazar S, Morelos ME, Labarrios F, Tamariz J, Chamorro GA, 1997,
Hypolipidaemic activity of alpha asarone in mice, J Ethnopharmacol,
55(2):161-3.
Girini
MM, Ahamed RN, Aladakatti RH, 2005, Effect of graded doses of Momordica
charantia seed extract on rat sperm: scanning electron microscope study, J
Basic Clin Physiol Pharmacol., 16(1): 53-66.
Grover
JK, Yadav SP, 2004, Pharmacological actions and potential uses of Momordica
charantia: a review, J Ethnopharmacol., 93(1): 123-32.
Kompas,
BPOM Pekanbaru Tarik 9.708 Kotak Obat Tradisional dari Peredaran, http://kompas.
co.id/kompas-cetak/0305/11/Fokus/ 306422.htm - 42k , edisi 31 Mei 2003,
diakses Desember 2005
Lopez
ML, Hernandez A, Chamorro G, Mendoza-Figueroa T, 1993, alpha-Asarone toxicity
in longterm cultures of adult rat hepatocytes, Planta Med.,
59(2):115-20.
Lord
MJ, Jolliffe NA, Marsden CJ, Pateman CS, Smith DC, Spooner RA, Watson PD,
Roberts LM., 2003, Ricin. Mechanisms of cytotoxicity, Toxicol Rev.,
22(1):53-64.
Lu
Y, Hou SX, Chen T., 2003, Advances in the study of vincristine: an anticancer
ingredient from Catharanthus roseus, Zhongguo Zhong Yao Za Zhi.,
28(11):1006-9.
Manikandan
S, Devi RS., 2005, Antioxidant property of alphaasarone against
noise-stressinduced changes in different regions of rat brain., Pharmacol
Res., 52(6):467-74.
Naseem
MZ, Patil SR, Patil SR, Ravindra, Patil RS, 1998, Antispermatogenic and
androgenic activities of Momordica charantia (Karela) in albino rats., J
Ethnopharmacol., 61(1):9-16.
Noble
RL, 1990, The discovery of the vinca alkaloids—chemotherapeutic agents against
cancer, Biochem Cell Biol., 68(12):1344-51.
Patterson
S, O’Hagan D., 2002, Biosynthetic studies on the tropane alkaloid hyoscyamine
in Datura stramonium; hyoscyamine is stable to in vivo oxidation and is not
derived from littorine via a vicinal interchange process., Phytochemistry,
61(3): 323-9.
Raji
Y, Oloyo AK, Morakinyo AO, 2006, Effect of methanol extract of Ricinus communis
seed on reproduction of male rats, Asian J Androl, 8(1):115-21.
Sandhyakumary
K, Bobby RG, Indira M, 2003, Antifertility effects of Ricinus communis (Linn)
on rats, Phytother Res, (Noble RL, 1990) (5): 508-11.
Sastroamidjojo
S, 2001, Obat Asli Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 170.
Suarni,
2005, Tanaman Obat tak Selamanya Aman, http://pikiranrakyat.com, 11
September 2005.
Sukandar
E Y, Tren dan Paradigma Dunia Farmasi, Industri-KlinikTeknologi Kesehatan, disampaikan dalam orasi ilmiah Dies Natalis
ITB, http://itb.ac.id/focus/ focus_file/orasi-ilmiah-dies-45.pdf,
diakses Januari 2006.
Vohora
SB, Shah SA, Dandiya PC, 1990, Central nervous system studies on an ethanol
extract of Acorus calamus rhizomes, J Ethnopharmacol, 28(1):53-62.
Wang
WX, Dong JY, Zhou SY, Li WL, Zhao Y., 1998, Modification of ricin and its
hepatotoxicity and activity against hepatocellular cancer in mice, World J
Gastroenterol., 4(4): 307-310.
WHO,
2003, Traditional medicine, http://www.who.int/mediacentre/
factsheets/fs134/en/, diakses Januari 2006.
Wu
ML, Deng JF, Wu JC, Fan FS, Yang CF, 2004, Severe bone marrow depression
induced by an anticancer herb Cantharanthus roseus, J Toxicol Clin Toxicol, 42(5): 667-71.
Zheng
YT, Ben KL, Jin SW, 1999, Alpha-momorcharin inhibits HIV1 replication in
acutely but not chronically infected T-lymphocytes., Zhongguo Yao Li Xue Bao,
20(3):239-43.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar