MENEMUKAN KEMBALI DAN MEMPERKUAT SISTEM PANGAN LOKAL
Oleh
:
ANANG
BUDI PRASETYO,SP
PENDAHULUAN
Sejarah pertanian Indonesia, dalam arti budidaya
pertanian sebagai tahapan lanjut dari meramu dan berburu, sudah dimulai jauh
sebelum penjajah datang. Sebagaimana dijelaskan Geertz, ada dua sistem
pertanian yang berkembang di Nusantara sebelum kolonialisme, yakni sistem
perladangan dan sistem persawahan. Ketika orang-orang Portugis kemudian Belanda
datang, sistem pertanian di Nusantara telah relatif terbentuk. Pusat persawahan
ada di pedalaman Jawa, sementara semakin ke barat, timur, dan utara semakin
sedikit sawah. Di wilayah luar Jawa ditandai dengan hutan tropis yang sangat
luas dan baru sedikit diusahakan oleh suku-suku yang hidup berladang.
Kehadiran Belanda ke Indonesia, khususnya Jawa,
adalah untuk memperoleh produk pertanian yang dapat dijual di pasaran Dunia.
Mereka membiarkan penduduk pribumi tetap melakukan usaha tani tetapi sekaligus
menghasilkan produk untuk pasaran dunia. Terbentuklah struktur ekonomi
dualistik, yang terdiri dari sektor ekspor dan sektor domestik pribumi. Ciri
kapitalisme administratif tampak dalam sektor ekspor, di mana orang-orang
Belanda sebagai pemegang modal mengatur dan mendiktekan cara berbudi daya, upah
dan mengontrol output, serta harga
penjualan. Sedangkan pada sektor domestik pribumi dijumpai di pertanian unit
keluarga, industri rumah tangga kecil-kecilan, dan sedikit perdagangan yang
berskala kecil juga.
Ketika harga produk perkebunan semakin menguat di
pasar dunia, maka sektor pertanian pribumi semakin mengecil. Tanah dan tenaga
kerja tidak lagi dipergunakan untuk meningkatkan usaha padi dan tanaman pangan
lainnya untuk rakyat desa, tetapi didorong untuk meningkatkan produksi tebu,
nila, kopi, tembakau dan lainnya. Penduduk desa yang semakin bertambah berusaha
untuk tetap bertahan hidup dengan cara meningkatkan produksi tanaman subsisten
di tanah yang semakin terbatas.
Proses kemerosotan usaha tani subsiten ini terus berlanjut pada periode tanam paksa
hingga Indonesia merdeka. Upaya meningkatkan akses rakyat terhadap
sumber-sumber agraria melalui UUPA tahun 1960 merupakan cara radikal dengan
memberi peluang berkembangnya usaha tani skala kecil milik rakyat. Tumbangnya
Orde Lama merupakan titik balik upaya radikal reforma agraria menjadi babak
lanjutan masa kolonial yang lebih dahsyat dalam proses peminggiran usaha tani rakyat. Disahkan dan
diterapkanya berbagai undang-undang seperti UU Penanaman Modal Asing, UU
Pertambangan, dan UU Kehutanan semakin
memerosotkan akses rakyat terhadap sumber-sumber agraria yang menjadi
alat produksi paling penting bagi usaha
tani tanaman pangan rakyat.
Sementara itu, Revolusi Hijau yang dilakukan tanpa
melakukan reforma agraria oleh pemerintah Orde Baru, berupaya merubah sistem pertanian
rakyat dengan melakukan “modernisasi” produksi dan distribusi secara
sentralistis. Meskipun berhasil meningkatkan produksi pangan (padi) pada
lahan-lahan pertanian secara nasional, namun belum mendorong sistem pangan
lokal menjadi kuat dan berkelanjutan. Artinya, kebijakan itu bukan ditujukan
untuk memperkuat sistem pangan lokal yang telah berkembang sebelumnya misalnya
dengan memperkuat akses masyarakat terhadap sumber-sumber agraria, teknologi
lokal, sistem kelembagaan pangan, sistem pengembangan infrastruktur yang
berbasis petani, sistem perdagangan lokal, atau sistem pengelolaan cadangan
pangan seperti lumbung. Berbagai sub-sistem dalam sistem pangan rakyat bukannya
semakin kuat tetapi justru semkin terpinggirkan
oleh kebijakan pangan Orde Baru yang sentralistik.
Bersamaan dengan itu pemerintah Orde Baru juga
mengembangkan kebijakan sentralisasi pengelolaan desa yang dilakukan dengan
melakukan pengaturan-pengaturan berkaitan dengan kedudukan desa yang berarti
merampas otonomi desa.
SISTEM
PANGAN DALAM KERANGKA SUSTAINABLE LIVELIHOOD
Masalah pangan dan pertanian disebabkan oleh
berbagai aspek yang saling terkait dan mempengaruhi. Penyebab kurang pangan disebabkan antara lain karena penduduk
tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber produksi pangan seperti tanah, air,
input pertanian, modal, dan teknologi.
Di negara-negara sedang berkembang, penyebab utama rawan pangan adalah lemahnya
akses terhadap tanah untuk memproduksi pangan. Berbagai kasus lain menunjukkan
bahwa kurang pangan dan kemiskinan juga disebabkan oleh kebijakan perdagangan
internasional dan nasional serta berbagai bencana alam dan sosial seperti
kekeringan, banjir, perang, atau krisis ekonomi.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memahami
masalah pangan dan kemiskinan secara menyeluruh dan terpadu adalah dengan menggunakan kerangka kerja sustainable livelihood yang dikembangkan oleh
DfID3 dan konsep entitlement yang diperkenalkan Amartya Sen4.
Seperti semua kerangka kerja lainnya, bentuk ini merupakan penyederhanaan atas
keragaman dan kekayaan mengenai penghidupan.
Dalam bentuk paling sederhana, kerangka kerja ini
menggambarkan manusia (individu maupun kelompok) merupakan penggerak berbagai
aset dan kebijakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mengatasi berbagai masalah
dan ancaman. Manusia dalam hal ini memiliki akses terhadap berbagai aset
produktif yang dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan
hidup lainnya. Chambers dan Conway mendefinisikan penghidupan berkelanjutan
sebagai: “suatu penghidupan yang meliputi kemampuan atau kecakapan,
aset-aset (simpanan, sumberdaya, claims
dan akses) dan kegiatan yang dibutuhkan untuk sarana untuk hidup: suatu
penghidupan dikatakan berkelanjutan jika dapat mengatasi dan memperbaiki diri
dari tekanan dan bencana, menjaga atau meningkatkan kecakapan dan aset-aset,
dan menyediakan penghidupan berkelanjutan
untuk generasi berikutnya; dan yang memberi sumbangan terhadap
penghidupan-penghidupan lain pada tingkat lokal dan global dalam jangka pendek
maupun jangka panjang.”5
Ada lima sumber kehidupan yang dimiliki oleh setiap
individu atau unit sosial yang lebih tinggi di dalam upayanya mengembangkan
kehidupannya yaitu:
(i)
humane capital, yakni modal yang
dimiliki berupa keterampilan, pengetahuan, tenaga kerja, dan kesehatan;
(ii)
social capital, adalah kekayaan sosial yang dimiliki
masyarakat seperti jaringan, keanggotaan dari kelompok-kelompok, hubungan
berdasarkan kepercayaan, pertukaran hak yang
mendorong untuk berkoperasi dan juga mengurangi biaya-biaya transaksi serta menjadi dasar dari sistem jaringan pengaman
sosial yang informal;
(iii)
natural capital adalah persediaan sumber
daya alam seperti tanah, hutan, air, kualitas udara, perlidungan terhadap
erosi, keanekaragaman hayati, dan lainnya;
(iv)
physical capital adalah infrastruktur
dasar jalan, saluran irigasi, sarana komunikasi, sanitasi dan persediaan air
yang memadai, akses terhadap komunikasi, dsbnya;
(v)
financial capital, adalah sumber-sumber
keuangan yang digunakan oleh masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan kehidupannya
seperti uang tunai, persediaan dan peredaran uang reguler.
Hubungan individu atau unit sosial
yang lebih tinggi terhadap pangan dalam studi ini didasarkan pada konsep entitlement
atau hak terhadap pangan. Dalam konsep ini, memproduksi dan mendapatkan pangan bagi manusia adalah hak asasi. Dalam
konsep entitlement ada beberapa cara manusia dalam mengakses
pangan yaitu:
(i)
direct entitlement, yakni hak atas pangan yang diperoleh melalui
hubungan hubungan di dalam kegiatan proses produksi pangan;
(ii)
exchange entitlement, yakni hak dan
akses atas pangan yang diperoleh melalui hubungan tukar menukar jasa atau
keahlian;
(iii)
trade entitlement, yakni hak atas pangan
yang diperoleh melalui hubungan jual beli komoditi yang diproduksi sendiri;
dan (
(iv)
social entitlement, yakni hak dan akses terhadap pangan yang
diperoleh melalui pertukaran sosial di antara anggota komunitas sosial.
Sistem pangan
individu, keluarga atau masyarakat yang lebih luas bukanlah sesuatu yang statis
tetapi dinamis. Dinamika ini antara lain dipengaruhi oleh tingkat kerentanan
(vulnerability) dan kemampuan individu atau unit sosial yang lebih besar dalam
menghadapi perubahan. Penyebab kerentanan adalah shock yaitu perubahan mendadak dan tidak terduga
(karena alam, ekonomi, konflik, dan
lainnya). Trend adalah perubahan yang
masih dapat diamati seperti pertumbuhan penduduk, perkembangan teknologi,
pertumbuhan ekonomi, dan perkembangan
politik). Seasonality atau musiman yang dapat diperkirakan dengan hampir pasti,
seperti perubahan secara musiman dari harga, produksi, dan iklim.
Setiap individu
dan unit sosial yang lebih besar mengembangkan sistem penyesuaian diri dalam
merespon perubahan tersebut (shocks, trends, dan seasonality). Renspons itu
bersifat jangka pendek yang disebut coping mechanism atau yang lebih jangka
panjang yang disebut adaptive mechanism.
Mekanisme dalam menghadapi perubahan dalam jangka pendek terutama bertujuan
untuk mengakses pangan (entitlement), sedangkan jangka panjang bertujuan untuk
memperkuat sumber-sumber kehidupannya (livelihood assets). Ketidakmampuan
menyesuaikan diri dalam jangka pendek akan membawa ke kondisi rawan pangan.
Penyesuaian rawan pangan yang tidak memperhitungkan aspek penguatan
sumber-sumber kehidupan dalam jangka panjang justru tidak akan menjamin
keberlanjutan ketahanan pangan individu maupun unit sosial yang lebih tinggi.
Situasi dan kondisi individu, keluarga, masyarakat
maupun unit sosial yang lebih tinggi terkait dan dipengaruhi oleh berbagai faktor dari luar. Sistem pangan
sangat dipengaruhi oleh struktur (institusi dan tingkatannya) dan proses
(kebijakan) di dalam sistem tersebut. Pendekatan SL menekankan pemahaman akan keterkaitan antara
persoalan mikro dan makro.
KEDAULATAN
PANGAN SEBAGAI PARADIGMA BARU UNTUK MENGATASI KELAPARAN
Persoalan kelaparan yang dihadapi rakyat Indonesia
saat ini juga tidak dapat dilepaskan dari proses liberalisasi perdagangan
dunia. Liberalisasi perdagangan telah memungkinkan sejumlah kecil perusahaan
multi nasional dan negara-negara maju untuk memainkan peran yang dominan dalam
menentukan arah dan kebijakan pangan global. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)
yang semakin berkuasa dalam mengatur tidak hanya sistem perdagangan, tetapi banyak aspek kehidupan manusia
lainnya. Terkait dengan pangan, liberalisasi perdagangan mengubah fungsi pangan
yang multi dimensi menjadi sekadar komoditas perdagangan. Bahkan WTO
mengartikan ketahanan pangan sebagai “ketersediaan pangan di pasar”. Konsep ini
dalam praktiknya memaksa rakyat di negara-negara sedang berkembang untuk
memenuhi pangan yang akan dipenuhi oleh negara-negara maju melalui mekanisme
pasar bebas. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pangan telah menjadi bagian dari
skema besar liberalisasi perdagangan.
Sebagaimana negara-negara sedang berkembang lainnya,
saat ini Indonesia trlsh terikat oleh kesepakatan pangan dan pertanian di
tingkat internasional. Kondisi ekonomi dan politik dalam negeri yang ada menyebabkan posisi tawar Indonesia lemah
terhadap pihak luar. Kuatnya tekanan dari luar dan lemahnya posisi tawar
Indonesia menyebabkan Indonesia menerapkan kebijakan liberalisasi perdagangan
pangan. Liberalisasi ini diwujudkan antara lain dalam pencabutan subsidi untuk
petani, privatisasi badan usaha logistik dan penurunan tarif impor produk
pangan. Kebijakan pangan nasional dengan demikian tidak disusun secara
komprehensif dalam suatu grand strategy serta mengabaikan potensi dan kemampuan
rakyat dalam mengelola sistem pangan mereka secara mandiri. Selain itu,
berbagai praktik korupsi dan kekerasan pada tingkat nasional hingga lokal serta
tidak adanya perangkat hukum untuk
melindungi hak-hak rakyat atas pangan juga semakin memperlemah upaya untuk
mengembangkan sistem pangan yang berkelanjutan.
Di sisi lain, ada upaya internasional untuk
mengatasi kelaparan seperti tercermin dalam World Food Sumit tahun 1974 dan
1996. Para pemimpin dunia yang hadir dalam WFS tahun 1996 (kembali)
mendeklarasikan bersama untuk “mencapai
ketahanan pangan bagi setiap orang dan melanjutkan upaya untuk
menghilangkan kelaparan di seluruh negara”. Ketahanan pangan dalam hal ini
diartikan sebagai kondisi tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap
orang setiap saat untuk hidup sehat, aktif dan produktif.
Namun kenyataan menunjukkan bahwa situasi pangan
dunia lima tahun setelah Konferensi Pangan Dunia tahun 1996 terlihat tidak
menunjukkan perkembangan sesuai yang diharapkan. Hal itu dinyatakan oleh Sekjen Perserikatan
Bangsa Bangsa, Kofi Annan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Pangan Setelah Lima
Tahun Kemudian di Roma, 10-13 Juni 2002. Lebih lajut dijelaskan bahwa pada
tahun 2002, sebanyak 815 juta manusia di negara berkembang masih menghadapi
kelaparan, 300 juta di antaranya adalah anak-anak. Mereka bergulat melawan rasa
lapar dan menghadapi serangan berbagai penyakit
akibat kurang gizi bahkan ancaman kematian. Tiap hari kurang-lebih
24.000 orang meninggal karena lapar atau hal-hal yang berkenaan dengan
kelaparan. Tiga perempat jumlah kematian itu adalah anak-anak berumur dibawah
lima tahun. Data-data FAO kian mengejutkan karena satu dari tiap lima penduduk
dunia menderita kekurangan gizi. Sekitar 777 juta orang mengalami kelangkaan
pangan, yang tinggal selangkah lagi masuk kategori menderita kelaparan.
Penyebab besarnya jumlah orang lapar di dunia dan
juga penduduk miskin ini dengan tegas disebutkan Diouf karena pasar global
untuk komoditas pertanian masih saja belum adil. Dari tahun 1999 sampai 2000,
menurut Diouf bantuan berkonsesi dari negara maju dan pinjaman dari lembaga
keuangan internasional turun 50 persen yang pertanian yang merupakan gantungan
hidup 70 persen masyarakat miskin dunia. Oleh karena kurangnya komitmen
tersebut, jumlah orang yang kekurangan makan hanya berkurang enam juta orang
per tahun dari target 22 juta orang seperti yang dideklarasikan tahun 1996.
Dengan kecepatan pengurangan yang berjalan lambat itu, maka target 400 juta
orang miskin dan lapar bisa diperbaiki
kesejahteraannya, baru akan tercapai 45 tahun lagi.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa upaya internasional dan nasional untuk
mengatasi kelaparan dengan konsep ketahanan pangan berbasis liberalisasi
perdagangan tidak akan pernah mampu mengatasi akar masalah kelaparan. Oleh
karenanya harus ada perubahan
mendasar terhadap kebijakan dan strategi
yang dikembangkan selama ini. Konsep atau paradigma baru yang dibutuhkan,
menempatkan hak rakyat atas pangan yang berperspektif gender. Konsep ini
memungkinkan petani perempuan dan laik-laki berperan aktif dan produktif dalam
menciptakan sistem pertanian berkelanjutan berdasarkan pada sumberdaya dan
kearifan lokal tanpa diskriminasi, diatas kepentingan perdagangan.
Berangkat dari keprihatinan tersebut, Koalisi Rakyat
untuk Kedaulatan Pangan, mengusulkan konsep Kedaulatan Pangan yang sesuai
dengan situasi ekologis, sosial, dan budaya rakyat Indonesia. Konsep ini
menjadi payung untuk menyusun aksi dan strategi berbasis gerakan rakyat yang
diperlukan untuk mengakhiri kelaparan. Kedaulatan pangan menurut kami adalah
hak setiap orang, kelompok masyarakat dan negara untuk mengakses dan mengontrol
berbagai sumberdaya produktif serta dalam menentukan sendiri kebijakan
produksi, distribusi dan konsumsi pangannya sesuai dengan kondisi ekologs,
sosial, ekonomi dan budaya khas masing-masing. Konsep ini berbeda dengan konsep
ketahanan pangan yang tidak mempedulikan dari mana pangan diproduksi dan hak
rakyat atas sumberdaya produktif. Dalam konsep kedaulatan pangan, hak rakyat
tidak terbatas pada akses untuk memperoleh pangan tetapi juga hak untuk
memproduksi dan mendistribusikan pangan.
Agar kedaulatan rakyat atas pangan dapat terwujud,
maka harus dilakukan reformasi kebijakan global yang menjamin hak asasi atas
pangan kepada seluruh manusia. Reformasi ini juga mencakup perwujudan
perdagangan yang adil dan pro-rakyat serta menghentikan kebijakan dumping untuk
menghindari penguasaan pangan satu negara atas negara yang lain. Kebijakan
global harus memberikan proteksi terhadap pasar lokal dan melindungi kedaulatan
semua orang, komunitas dan negara untuk menentukan sistem produksi, distribusi
dan konsumsi pangannya sendiri yang sesuai dengan karakter ekonomi, sosial,
budaya dan ekologi masing-masing.
Pada tingkat nasional dan lokal, diperlukan sebuah kebijakan untuk melindungi
pangan domestik dari tekanan
liberalisasi perdagangan. Pelibatan dan partisipasi rakyat dalam penentuan
kebijakan pangan nasional merupakan prasyarat penting untuk mewujudkannya.
Pemerintah pada tingkat pusat dan daerah
harus membuka peluang bagi komunitas lokal, desa dan kabupaten untuk merancang
dan mengembangkan sistem pangannya sendiri
yang sesuai dengan karakter ekonomi, sosial dan budaya lokal.
Pembangunan pangan harus diarahkan pada pembangunan pedesaan yang komprehensif berbasis pada
pertanian berkelanjutan sesuai dengan budaya dan kearifan lokal.
Mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar dan hak asasi manusia, maka untuk untuk
mewujudkannya diperlukan keterlibatan
rakyat dalam penentuan kebijakan terkait dengan proses produksi, distribusi dan
konsumsi pangan. Kedaulatan pangan dengan demikian merupakan sesuatu yang patut
diperjuangkan melalui gerakan rakyat. Gerakan rakyat untuk kedaulatan pangan
dapat terjadi jika ada organisasi yang kuat dari berbagai elemen rakyat – baik
perempuan maupun laki-laki - seperti petani, masyarakat adat, buruh, nelayan,
dan masyarakat miskin kota. Berbagai komponen rakyat ini secara sadar dan
bahu-membahu membangun solidaritas dan kerjasama memperjuangkan terwujudnya
kedaulatan pangan bagi setiap orang, komunitas maupun negara.
SISTEM
PANGAN DESA
Gagalnya sistem pangan nasional (swasembada pangan
nasional) dan sistem pangan global (liberarlisasi perdagangan dunia) tidak dapat menjamin terpenuhinya hak
rakyat atas pangan secara berkelanjutan. Kesadaran ini kemudian mendorong
beberapa kalangan untuk menengok kembali system pangan lokal yang telah
berkembang jauh sebelumnya dan menjadi
fondasi sistem pangan rakyat. Sejarah pertanian Indonesia sudah dimulai
jauh sebelum penjajah datang.
Sistem pertanian ladang dan sawah tersebut menjadi andalan rakyat untuk
memenuhi kebutuhan pangan ini, meskipun
ditelantarkan oleh hampir semua penguasa di Indonesia namun demikian
masih terus bertahan sebagai upaya untuk mempertahankan hidup. Ratusan ribu
komunitas yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara memiliki sistem pangannya
masing-masing yang khas serta jenis tanaman pangan yang beragam yang
dibudidayakan di ladang maupun di sawah. Setiap komunitas yang telah bertani
menetap, mengembangkan sendiri sistem pengelolaan sumber-sumber agraria,
inovasi dalam pembenihan dan teknik bercocok tanam, pengembangan infrastruktur,
penyimpanan, distribusi atau perdagangan, maupun dalam mengolah pangannya.
Komunitas-komunitas di Indonesia telah mengembangkan
berbagai makanan pokok seperti sagu, jagung, ketela pohon, dan ubi jalar. Berbagai jenis tanaman itu
tumbuh dan tersedia sepanjang tahun di berbagai keadaan lahan dan musim. Sejak
dulu secara turun-temurun masyarakat desa terbiasa memanfaatkan sumber-sumber
pangan yang beragam itu sebagai basis pemenuhan kebutuhan pangan pokok
sehari-hari maupun sebagai camilan. Keragaman pangan juga mengandung keragaman
nutrisi, bahkan diantara tanaman pangan itu berkhasiat obat. Sistem pangan
lokal inilah yang menjadi andalan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pangan dan
mengatasi ancaman dari bahaya kelaparan atau krisis pangan.
Sebagai contoh kita dapat melihat apa yang dilakukan
masyarakat desa di pekarangan yang sejak revolusi hijau cenderung
dirterlatarkan. Dari hasil penelitiannya di Kutowinangun, Jawa Tengah, Ochse
dan Terra (1973) menunjukkan bahwa 20% dari jumlah pendapatan penduduk berasal
dari pekarangan, tetapi pekarangan ini hanya memerlukan 2% dari jumlah biaya
dan 7% dari jumlah tenaga kerja. Menurut Mc. Comb, seperti dikutip oleh Ramsay
dan Wiersum (1974), hasil pendapatan dari tanah usahatani yang rata-rata 1,68
ha itu, 28% berasal dari pekarangan, 26% dari ladang, dan 46% dari sawah.
Stoler (1975) juga melaporkan bahwa desa-desa sebelah selatan Jawa Tengah,
pekarangan yang ditanami saja sudah merupakan sumber penghasilan terbesar bagi
penduduk yang hanya memiliki tanah
sempit. Sedangkan bagi mereka yang mempunyai tanah luas, penghasilan utamanya
berasal dari sawah.
Penelitian Soemarwoto, di Kecamatan Cinangka dan
Padarincang Jawa Barat, pekarangan ditumbuhi oleh 179 jenis tanaman yang
mencakup tanaman tahunan dan tanaman setahun, yang ukurannya bermacam-macam,
dari yang menjalar di tanah hingga pohon yang tingginya sekitar 25 meter.
Selain itu, di dua kecamatan tersebut terdapat 62 jenis gulma. Selanjutnya,
diketahui pula bahwa dari ke-62 jenis tersebut, 18 jenis digunakan untuk ramuan
jamu obat, satu jenis untuk atap dan makanan ternak, empat jenis sebagai
sayuran, dan hampir semua jenis rumput-rumputan untuk makanan ternak.
Berbagai potensi yang terkandung dalam sistem pangan
lokal inilah yang sangat mungkin dapat mengatasi persoalan pangan pada tingkat
komunitas. “community-based food systems memiliki peran penting dalam menjamin
pemenuhan kebutuhan pangan. Community-based food system menawarkan kepada
rakyat suatu peluang di mana mereka dapat meningkatkan pendapatan, penghidupan
mereka, dan dan kapasitas untuk memproduksi, dan secara mendasar suatu jalan
lapang di mana mereka dapat menjamin ketahanan pangan mereka pada masa
mendatang.
Saat ini, peluang untuk pengembangan sistem pangan
lokal mendapatkan momen yang tepat seiring dengan kebijakan otonomi daerah yang
bergulir sejak tahun 1999. Kebijakan ini memberi harapan terhadap perubahan paradigma pembangunan yang
sentralistis menjadi desentralistis dan
demokratis. Wacana ini juga mencakup Otonomi Desa Murni, dimana
pemerintahan desa akan memainkan peran utama dalam proses pembangunan. Undang
Undang (UU) Nomor 22 tahun 1999 menjelaskan bahwa desa tidak hanya
penyelenggara administrasi negara di bawah kabupaten tetapi menjadi komunitas
yang mandiri. Pemerintah pusat dan daerah tidak lagi akan campur tangan secara
langsung, tetapi hanya sebagai fasilitator. UU itu mengakui bahwa otonomi
adalah hak yang lahir dan tumbuh berkembang dari dalam masyarakat desa sendiri.
Melalui otonomi desa, pemerintah pusat akan mengembalikan hak yang di masa
lampau dirampas oleh pemerintah di atasnya.
Otonomi desa dapat diartikan sebagai otonomi suatu
kesatuan masyarakat yang mempunyai wilayah sendiri yang berkembang menjadi satu
kesatuan hukum dimana kepentingan bersama penduduk dilindungi dan dikembangkan
menurut hukum adat dengan pemerintahan
sendiri. Ciri dari masyarakat hukum adat
atau desa yang otonom adalah berhak mengatur dan mengurus pemerintahan dan
rumah tangganya sendiri, berhak mengangkat kepala daerahnya atau majelis
pemerintahan sendiri, berhak mempunyai sumber keuangan sendiri, serta berhak
atas berbagai sumberdaya mereka sendiri. Dengan demikian desa secara alami
telah memiliki otonominya sendiri semenjak masyarakat hukum ini terbentuk sehingga otonomi desa bukan
pemberian pihak lain.
Hal penting yang terkandung dalam otonomi desa
adalah kewenangan dalam mengelola berbagai sumberdaya desa agar dapat memenuhi
kebutuhan, memperoleh pendapatan dan memenuhi kebutuhan lainnya. Mengacu pada konsep sustainable livelihood, sumberdaya atau aset
desa meliputi: sumberdaya alam (lahan pertanian, sungai, dan hutan), sumberdaya
manusia (tenaga kerja, pengetahuan, keterampilan, dsb), sosial (organisasi,
peraturan, jaringan, dsb), infrastruktur (jalan, saluran irigasi, pasar, dsb),
keuangan (sumber dana, sistem pasar, dsb). Sumberdaya desa yang beranakaragam
merupakan aset masyarakat desa yang dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhan
pangan, pendapatan dan lainnya. Di antara berbagai aset desa, aset sosial
merupakan aset paling penting bagi berkembangnya otonomi desa.
Pemerintahan desa-desa tradisional membuktikan bahwa
dengan menempatkan kerja gotong royong dan penggalangan dana swadaya, otonomi
desa dapat dikembangkan. Prinsip utama otonomi desa adalah kewenangan membuat
keputusan-keputusan sendiri melalui semangat keswadayaan yang telah lama
dimiliki oleh desa, dalam satu kesatuan wilayah desa. Peran berbagai organisasi
desa seperti Badan Perwakilan Desa, Kelompok Petani, Kelompok Perempuan,
Organisasi kampung, kelompok simpan pinjam, para pedagang dan sebagainya dalam
proses pengambilan keputusan smerupakan prasarat penting. Pilihan tersebut di
ambil untuk menciptakan ruang bagi peran masyarakat dalam proses
pembangunan.
PRINSIP
DAN STRATEGI IMPLEMENTASI SISTEM PANGAN DESA
Mengingat penduduk yang kurang pangan dan miskin
tinggal di wilayah-wilayah pedesaan ataui kawasan marginal, maka pilihan
terbaiknya adalah peningkatan akses petani kecil terhadap sumberdaya produktif untuk meningkatkan
produksi. Pertanian merupakan penyedia lapangan kerja, pengan dan pendapatan
bagi penduduk pedesaan. Oleh karenanya sistem pangan lokal difokuskan untuk:
(1) mengutamakan produksi pertanian desa
untuk kebutuhan pangan penduduk desa bersangkutan, dan (2) memanfaatkan
pertanian sebagai generator pengembangan ekonomi masyarakat.
Sistem pangan lokal berarti pemberian jaminan dan
kewenangan dalam pengambilan keputusan pada tingkat lokal yang melibatkan
kelompok-kelompok yang terpinggirkan seperti petani dan masyarakat adat serta
kelompok perempuan. Sistem ini harus dilakukan melalui penataan penguasaan dan
pengelolaan sumber-sumber produktif seperti tanah, air, benih, teknologi,
input, permodalan, kelembagaan agar lebih adil, produktif dan
berkelanjutan. Hal yang penting juga
adalah dukungan terhadap hak petani kecil dan masyarakat adat untuk melanjutkan
dan mengembangkan sistem pertanian berkelanjutan mereka, praktek-praktek
pengelolaan lingkungan, dan mata pencaharian mereka. Hal itu juga menyangkut
praktek penyimpanan, pengembangan dan pertukaran benih tanaman pangan dan
obat-obatan.
Lebih lanjut, sistem pangan lokal juga berarti
pemberian wewenang kepada komunitas untuk melindungi, mengkonservasi dan
menanfaatkan kawasan pertanian dan lingkungan lainnya untuk menjamin pemenuhan
kebutuhan pangan dan pendapatan mereka. Lokalisasi pangan juga mencakup
perubahan dari ketergantungan terhadap input eksternal dan sistem budidaya
monokultur menjadi kemandirian dalam pemenuhan kebutuhan input dan keanekaragan
tanaman pangan yang dibudidayakan. Membangun sistem pangan lokal juga berarti
memperkuat basis bagi terwujudnya kedaulatan pangan pada tingkat daerah dan
nasional.
Kedaulatan pangan komunitas lokal ini juga
memberikan kebebasan kepada komunitas untuk menentukan sendiri skenario pangan
kampung atau desanya sendiri atau tingkat yang lebih tinggi. Dalam skenario
pangan kampung atau desa ini, mereka dapat menentukan jenis dan jumlah
pangan yang akan dioproduksi dan
dikonsumsi serta diperdagangkan. Hal ini merupakan salah satu jawaban terhadap persoalan harga
yang terjangkau bagi konsumen dan harga yang adil bagi petani, karena merupakan
satu kesatuan yang menjadi kebijakan bersama tingkat lokal. Sistem ini juga
berarti mengurangi biaya transportasi serta penghematan energi dan pengurangan
pencemaran. Sistem pangan lokal dengan juga akan mendorong pengembangan
perekonomian rakyat untuk mendukung kemandirian, produksi berbasis komunitas,
inovasi rakyat, keberlanjutan lingkungan, dan pola hubungan yang saling
menguntungkan.
PRINSIP
Kedaulatan pangan desa berarti menjunjung tinggi hak
setiap warga dan masyarakat desa sebagai
satu kesatuan untuk memproduksi, mendistribusikan dan memenuhi kebutuhan
pangan, di atas semua kepentingan lain, termasuk perdagangan. Dengan demikian,
prinsip sistem pangan desa meliputi:
• Rakyat desa
berdaulat untuk menentukan kebijakan dan strategi produksi, distribusi dan
konsumsi pangannya sendiri, terutama dalam memprioritaskan peningkatan produksi
anekaragam pangan untuk pemenuhan pangan seluruh warga desa itu sendiri.
• Keluarga
miskin dan kurang pangan yang ada di desa mendapat prioritas untuk mengakses
berbagai sumber produktif terutama tanah, air, hutan, daerah perikanan,
teknologi, benih dan permodalan.
• Menempatkan
perempuan dalam posisi dan peran setara sebagai bentuk penghormatan terhadap
persamaan hak dalam pengambilan
keputusan menyangkut produksi pangan dan akses yang seimbang dalam pemenuhan
kebutuhan pangan, serta dalam mengontrol sumber-sumber daya produktif.
•
Meningkatkan jenis dan jumlah produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan
pangan masyarakat desa dan masyarakat desa sekitarnya sehingga memenuhi
kebutuhan pangan yang beragam dalam jumlah yang cukup bagi seluruh warga
desa.
• Menghormati
dan memperkuat kearifan tradisional
serta pengetahuan lokal dalam memproduksi pertanian pangan lokal sebagai
landasan sistem produksi pangan berkelanjutan.
• Pengakuan
dan penghormatan terhadap budaya yang khas dalam memilih dan mengkonsumsi
pangan serta hak untuk menentukan
sendiri apa yang akan dimakan dalam jumlah yang cukup, bergizi, dan aman.
• Setiap desa
memiliki hak untuk melindungi pasar lokalnya dengan menetapkan aturan pangan
dari luar yang masuk sehingga dapat
melindungi produksi pangan desa serta menjamin sistem perdagangan yang
adil.
• Mekanisme
pengambilan keputusan partisipatif dan demokrasi sejati dalam proses
pengambilan keputusan di tingkat lokal, daerah, nasional dan
internasional.
STRATEGI
1.
Pengorganisasian
rakyat
Penguatan kapasitas dan solidaritas
seluruh warga desa yang mencakup antara lain kelompok miskin dan rawan pangan,
kelompok petani, perempuan, buruh, Badan Perwakilan Desa, Pemerintah Desa, dan warga desa lainnya untuk membuat
kebijakan dan strategi pangan desa.
2.
Menata
ulang pengelolaan sumber-sumber agrarian
Memetakan dan menata ulang sistem
pengelolaan sumber agraria desa seperti tanah, air dan hutan sebagai aset desa
serta meningkatkan akses seluruh masyarakat desa; khususnya bagi
keluarga-keluarga miskin dan rawan pangan.
3.
Pengembangan
sistem pertanian berkelanjutan
Memperkuat pengetahuan dan praktek
pertanian lokal (desa) agar berkembang secara berkelanjutan dengan aneka
tanaman pangan lokal serta pengembangan input internal untuk mengurangi
ketergantungan terhadap input eksternal.
4.
Pengembangan
sistem keuangan desa
Memperkuat keuangan atau permodalan
desa sebagai sumber pembiayaan pengembangan sistem pangan desa baik dari
masyarakat desa sendiri maupun dengan meningkatkan akses terhadap sumber dana
dari luar.
5.
Pengembangan
infrastruktur
Meningkatkan keswadayaan dan gotong
royong warga desa dalam mengembangkan dan memelihara infrastruktur yang
mendukung sistem pangan desa seperti irigasi, jalan, bangunan lumbung, pasar
desa, dan sebagainya.
6.
Pengembangan
sistem cadangan pangan desa
Mengembangkan sistem cadangan
pangan yang dapat menjamin terpenuhinya pangan seluruh warga desa dalam jumlah
yang cukup dan sepanjang waktu, terutama untuk mengantisipasi musim paceklik
atau benvana alam lainnya baik melalui lumbung pangan maupun pebudidayaan
tanaman cadangan pangan.
7.
Menjamin
hak atas pangan bagi warga rawan pangan
Mengembangkan sistem jaminan pangan
bagi warga desa yang rawan pangan seperti keluarga miskin, manula, yatim piatu,
orang cacat dan lainnya agar dapat memperoleh pangan dalam cukup, bergizi, dan
aman sepanjang waktu.
8.
Mendorong
pasar pangan local
Memprioritaskan pemasaran produksi
pangan desa untuk pemenuhan kebutuhan pangan desanya sendiri dan warga di
sekitar desa melalui pengembangan pemasaran lokal baik secara kolektif maupun
dengan melibatkan pedagang desa serta kemungkinan untuk menerapkan kebijakan
kuota dan pajak untuk melindungi dan mendukung usaha tani desa.
Pengalaman
The International Center for Tropical Agriculture (CIAT) di
Kolumbia, Amerika selatan adalah mendampingi komunitas dan membantu
petani lokal meningkatkan produksi pangan dengan memberdayakan mereka melalui
riset dan menentukan sendiri teknologi dan praktek pertanian baru. Langkah
pertama dilakukan dengan membentuk komite penelitian pertanian lokal yang
disebut Comité de Investigación Agrícola Local (CIAL). Anggota CIAL dipilih
oleh masyarakat untuk memfasilitasi dan mengelola proses ujicoba yang
diprioritaskan oleh masyarakat. Riset CIAL biasanya dimulai dengan masalah yang
menyangkut defisit pangan di tingkat komunitas mereka.
Proses
riset dan pengambilan keputusan dilakukan dengan menggunakan pendekatan Farmer
Participatory Research (FPR) dan melibatkan seluruh anggota masyarakat. Hal ini
untuk menjamin bahwa masukan telah diperoleh dari seluruh anggota masyarakat,
termasuk kaum perempuan dan kaum miskin. CIAL kemudian melakukan penelitian dan
melaporkan kembali kepada masyarakat.
Konsep
yang digunakan CIAL berkembang cepat di America Latin sejak dimulai tahun 1990
dengan lima CIAL. Tahun 2001, telah berkembang lebih dari 250 CIAL di in delapan
negara Amerika Latin. Banyak dari CIAL ini kemudian memprioritaskan untuk
mencari dan mengujicoba varietas tanaman yang lebih baik. Pada tahap berikutnya
CIAL mulai melakukan penelitian persoalan yang lebih kompleks seperti
pengelolaan hama terpadu, pengelolaan tanah tanah dan air, dan produksi ternak
skala kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar